Home / Peradaban Islam / Revolusi Abbasiyah: Ketika Kaum Mawali Menggantikan Aristokrasi Arab di Panggung Kekuasaan

Revolusi Abbasiyah: Ketika Kaum Mawali Menggantikan Aristokrasi Arab di Panggung Kekuasaan

Bayangkan sebuah revolusi yang tidak hanya mengganti satu dinasti dengan yang lain, tetapi juga menjungkirbalikkan seluruh tatanan sosial yang telah mapan selama hampir satu abad. Inilah yang terjadi pada pertengahan abad ke-8, ketika Dinasti Umayyah yang berpusat di Damaskus runtuh dan digantikan oleh Dinasti Abbasiyah. Ini bukan sekadar pergantian elite politik; ini adalah sebuah transformasi fundamental yang didorong oleh sebuah kelompok yang lama terpinggirkan yaitu kaum Mawali.

Kisah Revolusi Abbasiyah adalah kisah tentang bagaimana diskriminasi, kebencian, dan aliansi strategis mampu meruntuhkan hegemoni aristokrasi Arab dan melahirkan sebuah peradaban Islam yang lebih kosmopolitan dan plural. Di jantung revolusi ini, kaum Mawali (Muslim non-Arab) berubah dari warga negara kelas dua menjadi arsitek utama era keemasan Islam.

Kaum Mawali: Warga Kelas Dua di Bawah Panji Umayyah

Untuk memahami mengapa Revolusi Abbasiyah terjadi, kita harus terlebih dahulu mengenal siapa itu kaum Mawali. Istilah Mawali (bentuk jamak dari mawla) pada awalnya memiliki beberapa arti, seperti budak yang telah dimerdekakan, sekutu, atau kerabat. Namun, dalam konteks sosial Dinasti Umayyah (661-750 M), istilah ini secara umum merujuk pada Muslim yang bukan berasal dari keturunan Arab. Mereka adalah orang-orang Persia, Turki, Afrika, dan bangsa-bangsa lain yang memeluk Islam seiring dengan meluasnya wilayah kekhalifahan.

Meskipun Islam mengajarkan kesetaraan di hadapan Tuhan, praktik di masa Dinasti Umayyah berkata lain. Pemerintahan Umayyah membangun sebuah sistem sosial yang sangat mengagungkan supremasi Arab (arabisme). Dalam hierarki ini:

  • Status Sosial Rendah: Kaum Mawali diposisikan sebagai warga negara kelas dua, berada di bawah Muslim keturunan Arab murni. Sikap superior ini tumbuh karena bangsa Arab merasa sebagai penakluk dua kekuatan besar dunia, Romawi dan Persia.
  • Diskriminasi Ekonomi: Mereka seringkali dipaksa membayar jizyah (pajak pemungutan suara), sebuah pungutan yang seharusnya hanya berlaku bagi non-Muslim. Kebijakan ini secara efektif menyamakan status mereka dengan non-Muslim.
  • Eksklusi Politik: Jabatan-jabatan tinggi dalam pemerintahan dan militer dianggap sebagai hak istimewa khusus bagi keturunan Arab. Sementara itu, kaum Mawali lebih banyak diberi peran di bidang ekonomi, industri, dan ilmu pengetahuan.
  • Ketidakadilan Militer: Ketika bertugas di militer, gaji mereka seringkali tidak sebanding dengan prajurit Arab, atau bahkan mereka tidak tercatat dalam daftar penerima gaji sama sekali.

Diskriminasi ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Selain fanatisme kesukuan Arab, ada juga kekhawatiran politik. Dinasti Umayyah berusaha mencegah masuknya pengaruh Persia ke tampuk kekuasaan, terutama karena salah satu figur oposisi utama mereka, Husein bin Ali, menikah dengan seorang putri bangsawan Persia. Akibatnya, setiap gerakan yang didukung oleh bangsa Persia—termasuk gerakan Syi’ah—menjadi sangat dibenci oleh Umayyah.

Perlakuan tidak adil ini secara alami membangkitkan amarah, kebencian, dan perlawanan dari golongan Mawali. Mereka merasa potensi mereka disia-siakan dan hak-hak keislaman mereka diinjak-injak. Bara dalam sekam ini hanya menunggu percikan api untuk menyulut sebuah kebakaran besar yang akan melahap Dinasti Umayyah.

Bara dalam Sekam: Aliansi Strategis Mawali dan Bani Abbas

Percikan api itu datang dari Bani Abbas. Mereka adalah keturunan dari Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad SAW. Sebagai bagian dari Bani Hasyim, klan yang sama dengan Nabi dan Ali bin Abi Thalib, mereka merasa lebih berhak atas kekhalifahan dibandingkan Bani Umayyah, yang berasal dari klan yang berbeda. Sama seperti kaum Mawali, Bani Hasyim juga mengalami penindasan di bawah kekuasaan Umayyah.

Kesamaan nasib sebagai kelompok yang tertindas inilah yang menjadi dasar aliansi strategis antara Bani Abbas dan kaum Mawali. Bani Abbas dengan cerdik menggalang dukungan dari kelompok-kelompok yang tidak puas dengan rezim Umayyah.

  • Dukungan Kaum Mawali: Kaum Mawali, terutama yang berasal dari Persia di wilayah Khurasan, menjadi tulang punggung gerakan revolusi. Mereka memiliki jumlah yang besar, organisasi yang solid, dan dendam yang membara terhadap penguasa Damaskus. Bagi mereka, mendukung Bani Abbas adalah jalan menuju emansipasi sosial dan politik. Tokoh kunci seperti Abu Muslim Al-Khurasani, seorang Mawali Persia, menjadi komandan besar yang sangat berjasa dalam mendirikan dinasti Abbasiyah.
  • Dukungan Awal Kelompok Syi’ah: Kelompok pendukung keluarga Ali bin Abi Thalib (Syi’ah) pada awalnya juga bergabung mendukung Bani Abbas. Mereka menyangka revolusi ini akan mengembalikan kekhalifahan kepada keturunan Ali. Namun, harapan mereka pupus ketika Bani Abbas justru mengangkat khalifah dari garis keturunan mereka sendiri, Abul Abbas as-Saffah, yang membuat kelompok Syi’ah merasa tersingkir.

Dengan menyatukan kekuatan-kekuatan oposisi ini di bawah satu panji, propaganda Abbasiyah berhasil menggambarkan diri mereka sebagai pembebas yang akan mengembalikan keadilan Islam dan mengakhiri tirani Umayyah.

Revolusi Bergulir: Runtuhnya Aristokrasi Arab

Pada tahun 749-750 M, revolusi mencapai puncaknya. Pasukan revolusioner yang dimotori oleh kaum Mawali dari Khurasan berhasil menggulingkan kekuasaan Umayyah. Kemenangan ini menandai sebuah titik balik dramatis dalam sejarah Islam. Revolusi Abbasiyah bukan hanya pergantian penguasa, melainkan runtuhnya sistem aristokrasi Arab yang telah berlangsung selama 90 tahun.

Perubahan itu bersifat segera dan fundamental:

  1. Pusat Kekuasaan Bergeser: Ibu kota dipindahkan dari Damaskus, jantung dunia Arab, ke Baghdad, sebuah kota baru yang dibangun di dekat bekas ibu kota Persia. Langkah ini secara simbolis dan praktis mengakhiri dominasi Arab dan membuka gerbang bagi pengaruh Persia dan budaya kosmopolitan lainnya.
  2. Struktur Sosial Baru: Dinasti Abbasiyah secara sadar meninggalkan politik diskriminatif Umayyah. Mereka menerapkan kebijakan yang lebih egaliter, di mana kesetiaan dan kemampuan lebih diutamakan daripada latar belakang etnis. Pembedaan antara Muslim Arab dan non-Arab (Mawali) dihapuskan, dan semua Muslim memiliki hak yang setara di hadapan negara.
  3. Internasionalisasi Pemerintahan: Negara tidak lagi dijalankan secara eksklusif oleh orang Arab. Birokrasi diisi oleh pejabat dari berbagai bangsa, dengan orang-orang Persia memegang peranan yang sangat penting.

Era Baru: Kaum Mawali di Panggung Kekuasaan Abbasiyah

Kemenangan Revolusi Abbasiyah adalah kemenangan kaum Mawali. Kelompok yang sebelumnya dipandang sebelah mata kini menjadi pilar utama peradaban baru. Mereka tidak hanya mendapatkan kesetaraan, tetapi juga mendominasi panggung kekuasaan dalam berbagai bidang.

1. Dominasi Politik dan Birokrasi

Contoh paling mencolok dari kebangkitan politik Mawali adalah keluarga Barmak (Barmakid) dari Persia. Khalid bin Barmak diangkat sebagai wazir (menteri) oleh khalifah Al-Mansur. Keturunannya, seperti Yahya dan Ja’far, terus memegang posisi-posisi paling strategis di pemerintahan selama beberapa dekade, terutama pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid. Mereka menjadi penasihat khalifah, mengelola administrasi negara, dan memiliki pengaruh yang sangat besar. Keluarga Barmak adalah simbol bagaimana aristokrasi Persia menggantikan posisi aristokrasi Arab di lingkaran kekuasaan.

2. Kemajuan Intelektual dan Keilmuan

Masa keemasan Islam yang sering diasosiasikan dengan Dinasti Abbasiyah sesungguhnya adalah buah dari kontribusi intelektual kaum Mawali. Karena pada era Umayyah ruang gerak politik mereka dibatasi, kaum Mawali mencurahkan energi mereka untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Ketika Abbasiyah berkuasa, potensi intelektual ini meledak. Seperti penerjemahan dan lahirnya Bayt al-Hikmah, gerakan penerjemahan besar-besaran karya-karya Yunani, Persia, dan India ke dalam bahasa Arab digerakkan oleh para sarjana Mawali. Lembaga ikonik seperti Bayt al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) di Baghdad menjadi pusat kegiatan ini, yang didukung penuh oleh khalifah seperti Al-Ma’mun. Selain itu juga kaum Mawali mengembangkan berbagai disiplin ilmu. Para ilmuwan Mawali menjadi tokoh terkemuka di hampir semua bidang ilmu, baik ilmu agama (naqli) maupun ilmu rasional (‘aqli). Diantara bidang disiplin ilmu yang dikembangkan kaum mawali, yaitu;

  • Ilmu Agama: Tokoh seperti Hasan al-Basri (teologi), Abu Hanifah (fiqih), Ibnu Jarir ath-Thabari (tafsir dan sejarah), dan Imam al-Ghazali (teologi, tasawuf, filsafat) adalah keturunan Mawali Persia. Bahkan, keenam penyusun kitab hadis paling terkenal (Kutubus Sittah) seluruhnya adalah non-Arab.
  • Sains dan Filsafat: Nama-nama besar seperti Al-Khawarizmi (matematika), Ibnu Sina (kedokteran dan filsafat), Jabir bin Hayyan (kimia), dan Al-Razi (kedokteran) adalah orang-orang Persia yang karyanya membentuk dasar sains modern.
  • Bahasa dan Sastra: Ahli tata bahasa Arab paling berpengaruh, seperti Sibawaihi, juga berasal dari kalangan Mawali Persia.

Fakta ini menunjukkan bahwa otak di balik kejayaan peradaban Abbasiyah sebagian besar adalah kaum Mawali.

Kesimpulan: Buah dari Inklusi Sosial

Revolusi Abbasiyah adalah pelajaran abadi tentang konsekuensi dari eksklusi dan inklusi sosial. Kebijakan diskriminatif Dinasti Umayyah yang didasarkan pada supremasi etnis terbukti menjadi bumerang yang menghancurkan mereka. Dengan meminggirkan kaum Mawali, mereka menciptakan sebuah kekuatan besar yang penuh dendam dan siap untuk menumbangkan kekuasaan mereka.

Sebaliknya, Dinasti Abbasiyah, dengan merangkul kaum Mawali dan memberikan mereka ruang yang setara, berhasil melepaskan potensi luar biasa yang sebelumnya terpendam. Naiknya kaum Mawali ke panggung kekuasaan menggantikan aristokrasi Arab tidak hanya mengubah peta politik, tetapi juga melahirkan salah satu periode paling cemerlang dalam sejarah peradaban manusia. Kisah mereka adalah bukti bahwa sebuah peradaban mencapai puncaknya bukan dengan menyingkirkan yang berbeda, melainkan dengan menyatukan keragaman untuk membangun kemakmuran bersama.

Bibliografi

Dardiri, M. A., Waluyo, W., & Aquil, A. (2023). Kondisi Sosial-Politik Dinasti Bani Abbasiyah dan Pengaruhnya Terhadap Pendidikan Islam. Jurnal Asy-Syukriyyah, 24(1), 69–82.

Faizin, I., & Chasanah, C. L. (2024). Peran Mawali dalam perkembangan keilmuan islam pada era Bani Umayyah. Humanistika: Jurnal Keislaman, 10(2), 225-232.

Hana, M. Y., & Azis, M. N. I. (2023). Dinamika Inklusi Sosial Masyakarat Islam: Posisi Kaum Mawali dalam Pembangunan Umat Islam di Jazirah Arab. Jurnal El Tarikh: Journal of History, Culture and Islamic Civilization, 4(1), 45-53.

Ikhsan, M. (2015). Jejak Kegemilangan Intelektualisme Islam dalam Pentas Sejarah Dunia: Kontribusi Ilmiah Kaum Mawali Persia pada Periode Klasik. Shautut Tarbiyah, 21(2), 77-90.

Baca juga: Pertempuran Tours: Kekalahan Muslim dan Titik Balik Sejarah Eropa Barat

Loading

Tagged:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *