Ketika kita berbicara tentang orang terkaya dalam sejarah, pikiran modern kita mungkin langsung tertuju pada nama-nama seperti Jeff Bezos, Elon Musk, atau para taipan teknologi abad ke-21. Kekayaan mereka memang luar biasa, mencapai ratusan miliar dolar. Namun, jika kita memutar kembali roda waktu ke abad ke-14 di Afrika Barat, ada seorang penguasa yang kekayaannya begitu masif hingga “tak terhitung” dan bahkan mampu menghancurkan ekonomi sebuah negara hanya dengan kemurahan hatinya. Ia adalah Mansa Musa, Kaisar (Mansa) dari Kekaisaran Mali.
Dengan estimasi kekayaan bersih yang jika disesuaikan dengan inflasi hari ini mencapai sekitar $400 miliar, Mansa Musa berdiri di puncak piramida kekayaan sejarah. Namun, kisahnya bukan sekadar tentang tumpukan emas. Ini adalah kisah tentang seorang pemimpin Muslim yang taat, ekspedisi haji yang legendaris, dan visi intelektual yang mengubah kota Timbuktu menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia.
Awal Mula Sang Singa Mali
Mansa Musa, yang lahir sekitar tahun 1280 M, bukanlah pewaris tahta pertama yang diharapkan memimpin Mali. Ia berasal dari dinasti Keita yang didirikan oleh kakek buyutnya (atau paman buyutnya menurut beberapa sumber), Sundiata Keita, sang “Raja Singa” yang legendaris.
Kisah naiknya Musa ke tampuk kekuasaan sangat unik dan berhubungan dengan misteri samudra. Pendahulunya, Mansa Abubakari II, adalah seorang raja penjelajah yang terobsesi untuk menemukan ujung Samudra Atlantik. Pada tahun 1312, Abubakari II memimpin ekspedisi besar-besaran dengan 2.000 kapal berisi manusia dan 1.000 kapal perbekalan, berlayar ke arah barat dan tidak pernah kembali. Sebelum pergi, ia menunjuk Musa sebagai wakilnya untuk memimpin kekaisaran. Ketika sang raja tidak kembali, Musa secara resmi dinobatkan sebagai Mansa kesepuluh Kekaisaran Mali pada tahun 1312 M.
Sumber Kekayaan: Emas, Garam, dan Jalur Perdagangan
Di bawah pemerintahan Mansa Musa, Kekaisaran Mali berkembang pesat, membentang dari pantai Atlantik hingga Danau Chad, mencakup wilayah yang kini menjadi negara Senegal, Mauritania, Mali, Burkina Faso, Niger, Gambia, Guinea, dan Pantai Gading. Namun, dari mana asal kekayaan yang tak terbayangkan itu?
Jawabannya terletak pada dua komoditas utama: emas dan garam.
Pada abad ke-14, Mali menguasai tambang emas di Wangara dan Bambuk, yang saat itu menyuplai lebih dari setengah pasokan emas dunia. Dunia Lama, terutama Eropa dan Timur Tengah yang sedang mencetak koin emas (seperti dinar dan ducat), sangat bergantung pada emas yang mengalir dari Mali. Uniknya, Mansa Musa menerapkan kebijakan ketat: semua bongkahan emas (nugget) adalah milik raja, sementara rakyat hanya boleh memperdagangkan debu emas. Kebijakan ini menjaga nilai emas tetap stabil dan mencegah inflasi di dalam negeri.
Selain emas, Mali menguasai perdagangan garam dari tambang Taghaza di utara. Di masa itu, garam adalah komoditas vital untuk mengawetkan makanan dan kesehatan di iklim gurun, sehingga nilainya hampir setara dengan emas. Sebuah peribahasa Sudan kuno menggambarkan dinamika ini: “Garam berasal dari utara, emas dari selatan, dan perak dari negeri orang kulit putih, tetapi firman Tuhan dan harta kebijaksanaan hanya ditemukan di Timbuktu”.
Mansa Musa memaksimalkan keuntungan ini dengan mengamankan jalur perdagangan Trans-Sahara. Ia mengenakan pajak pada setiap karavan yang masuk dan keluar wilayahnya. Dengan sistem pemerintahan yang terdesentralisasi namun efektif melalui gubernur provinsi yang disebut farba, Musa berhasil menjaga stabilitas ekonomi dan politik di wilayah yang sangat luas dan beragam.
Haji Emas 1324: Perjalanan yang Mengguncang Dunia
Momen yang membuat nama Mansa Musa abadi dalam sejarah dunia adalah perjalanan ibadah hajinya ke Mekkah pada tahun 1324-1325. Ini bukan sekadar perjalanan religius, melainkan sebuah diplomasi internasional dan pameran kekuatan ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Karavan Raksasa
Persiapan perjalanan ini memakan waktu bertahun-tahun. Mansa Musa membawa serta rombongan yang diperkirakan berjumlah 60.000 orang. Rombongan ini terdiri dari tentara, pejabat, pedagang, hingga budak, yang semuanya mengenakan sutra Persia dan brokat emas yang mewah.
Yang paling mencengangkan adalah jumlah emas yang dibawa. Sekitar 80 hingga 100 unta berjalan beriringan, masing-masing mengangkut beban ratusan pon debu emas. Ada pula laporan yang menyebutkan 500 budak berjalan di depan sang Kaisar, masing-masing membawa tongkat yang terbuat dari emas murni.
Guncangan Ekonomi di Kairo
Peristiwa paling terkenal dalam perjalanan ini terjadi saat Mansa Musa singgah di Kairo, Mesir. Awalnya, terjadi ketegangan diplomatik. Ketika diundang bertemu Sultan Mesir, An-Nasir Muhammad, Musa sempat menolak karena protokol mengharuskannya mencium tanah di kaki Sultan. Sebagai sesama raja yang berdaulat, Musa enggan melakukannya. Namun, akhirnya ia setuju bertemu dan bersujud hanya kepada Allah, lalu disambut dengan hormat oleh Sultan.
Selama tiga bulan di Kairo, Mansa Musa membagikan emas dengan sangat dermawan kepada pejabat istana, pedagang, hingga fakir miskin di jalanan. Ia berbelanja barang-barang mewah dan oleh-oleh tanpa menawar. Akibat banjir emas mendadak ini, nilai emas di Mesir anjlok drastis. Tindakan kemurahan hati satu orang ini menyebabkan hiperinflasi yang menghancurkan ekonomi Mesir selama lebih dari 12 tahun.
Ironisnya, dalam perjalanan pulang dari Mekkah, Mansa Musa kehabisan uang tunai karena kedermawanannya yang berlebihan. Ia terpaksa meminjam uang dari pedagang Kairo dengan bunga tinggi, yang secara tidak sengaja membantu memulihkan nilai emas di wilayah tersebut.
Timbuktu: Membangun Pusat Peradaban Islam
Meskipun dikenal karena emasnya, warisan terbesar Mansa Musa bukanlah logam mulia, melainkan ilmu pengetahuan dan arsitektur. Sekembalinya dari Mekkah, ia membawa misi untuk menjadikan Mali sebagai pusat peradaban Islam. Ia tidak hanya membawa barang dagangan, tetapi juga “mengimpor” otak-otak brilian: ulama, penyair, ahli hukum, dan arsitek dari Arab dan Andalusia.
Salah satu tokoh terpenting yang dibawa pulang oleh Musa adalah Abu Ishaq al-Sahili, seorang penyair dan arsitek dari Granada, Spanyol. Mansa Musa membayarnya dengan 200 kg emas (sekitar 12.000 mithqal) untuk merancang bangunan-bangunan megah di Timbuktu dan Gao.
Arsitektur Sudano-Sahelian
Al-Sahili memperkenalkan gaya arsitektur baru yang menggunakan bata lumpur (banco) dengan rangka kayu yang menonjol keluar, menciptakan gaya khas Afrika Barat yang ikonik hingga hari ini. Karya masterpiece-nya adalah Masjid Djinguereber di Timbuktu, yang dibangun pada tahun 1327 dan masih berdiri kokoh hingga sekarang.
Universitas Sankore
Di bawah perlindungan Mansa Musa, Masjid Sankore berkembang menjadi universitas kelas dunia yang menampung 25.000 mahasiswa dan memiliki perpustakaan dengan ratusan ribu naskah. Kurikulumnya mencakup studi Islam, hukum, astronomi, matematika, kedokteran, hingga sejarah.
Timbuktu berubah dari sekadar pos perdagangan menjadi kota metropolis intelektual. Buku menjadi komoditas yang paling berharga di kota ini, bahkan seringkali dijual dengan keuntungan yang lebih tinggi daripada barang dagangan lainnya. Para sarjana dari seluruh dunia Islam datang ke Timbuktu untuk belajar, menjadikan Mali sebagai mercusuar ilmu pengetahuan di Abad Pertengahan.
Atlas Catalan dan Citra Afrika di Mata Eropa
Kabar tentang kekayaan Mansa Musa menyebar hingga ke Eropa, yang saat itu sedang mengalami masa-masa sulit. Pada tahun 1375, seorang kartografer Yahudi dari Majorca bernama Abraham Cresques membuat Catalan Atlas (Atlas Katalan) untuk Raja Prancis.
Dalam peta tersebut, di wilayah Afrika Barat, digambarkan sosok raja berkulit hitam yang duduk di atas singgasana, mengenakan mahkota emas, memegang tongkat kerajaan emas di satu tangan, dan sebuah bongkahan emas besar di tangan lainnya. Keterangan di peta tersebut berbunyi: “Raja negro ini adalah… tuan paling kaya dan paling mulia di seluruh negeri ini karena kelimpahan emas yang dikumpulkan di tanahnya”.
Peta ini sangat penting karena mengubah persepsi Eropa terhadap Afrika. Afrika tidak lagi hanya dilihat sebagai tanah misterius yang berisi monster, tetapi sebagai tanah kekayaan dan kekuasaan yang nyata. Hal ini pula yang kelak memicu ketertarikan bangsa Portugis dan Eropa lainnya untuk mencari sumber emas tersebut, yang berujung pada era kolonialisme.
Akhir Pemerintahan dan Warisan
Mansa Musa memerintah selama sekitar 25 tahun. Ia diperkirakan meninggal pada tahun 1337 M, meskipun beberapa sejarawan masih memperdebatkan tanggal pastinya. Ia digantikan oleh putranya, Mansa Maghan I, yang sayangnya tidak memiliki kemampuan memerintah sebaik ayahnya.
Sepeninggal Mansa Musa, kekaisaran mulai mengalami kemunduran akibat perebutan kekuasaan internal dan serangan dari luar, seperti dari kerajaan Songhai yang sedang bangkit. Namun, warisan Mansa Musa tetap bertahan. Ia berhasil menempatkan Afrika Barat dalam peta geopolitik dan ekonomi dunia abad pertengahan.
Struktur pemerintahan yang ia bangun, toleransi beragama yang ia praktikkan (membiarkan tradisi lokal hidup berdampingan dengan Islam), dan investasinya dalam pendidikan, membuktikan bahwa ia bukan sekadar orang kaya yang boros. Ia adalah seorang visioner.
Penutup
Kisah Mansa Musa mengajarkan kita bahwa sejarah Afrika Abad Pertengahan jauh dari kesan “terbelakang” yang sering digambarkan dalam narasi kolonial. Mali di bawah Mansa Musa adalah pusat global yang canggih, terhubung dengan jaringan perdagangan internasional, dan memiliki tradisi literasi yang tinggi.
Hari ini, ketika kita melihat daftar orang terkaya di majalah Forbes, ingatlah bahwa tujuh abad yang lalu, ada seorang Raja Muslim dari Afrika Barat yang kekayaannya begitu besar hingga ia bisa mengubah ekonomi dunia hanya dengan berjalan kaki melintasi gurun pasir.
Bibliografi
History Titans. (2020). Mansa Musa: Emperor of The Wealthy Mali Empire. History Titans Publishing.
Harris, Charlie. (2020). “Mansa Musa I of Mali: Gold, Salt, and Storytelling in Medieval West Africa”. Case Study #16, Global History of Capitalism Project. University of Oxford.
Charles River Editors. (n.d.). Mansa Musa and Timbuktu: The History of the West African Emperor and Medieval Africaโs Most Fabled City. Charles River Editors.
Baca juga artikel menarik lainnya: Duel Dua Raksasa Muslim: Kisah Konfrontasi Sultan Bayazid I Melawan Timur Lenk
![]()













