Home / Sejarah Dunia / Leonidas dan Pengorbanan Sparta: Sejarah Pertempuran Thermopylae

Leonidas dan Pengorbanan Sparta: Sejarah Pertempuran Thermopylae

Pada akhir musim panas tahun 480 SM, sebuah pertempuran legendaris terjadi di celah sempit yang dikenal sebagai Thermopylae, atau “Gerbang Panas”. Di satu sisi, berdiri pasukan invasi raksasa dari Kekaisaran Persia, yang dipimpin oleh Raja Xerxes, dengan tujuan menaklukkan seluruh Yunani. Di sisi lain, sebuah pasukan kecil aliansi Yunani yang dipimpin oleh Raja Leonidas dari Sparta, siap mengorbankan segalanya.

Meskipun pertempuran ini berakhir dengan kekalahan taktis bagi Yunani, pengorbanan mereka selama tiga hari menjadi salah satu kisah keberanian paling abadi dalam sejarah. Ini bukanlah sekadar kisah tentang kekalahan, melainkan sebuah pengorbanan strategis yang menginspirasi seluruh Yunani untuk bersatu dan pada akhirnya memenangkan perang. Bagaimana mungkin pasukan yang jauh lebih kecil mampu menahan gempuran kekuatan militer terbesar di dunia saat itu? Jawabannya terletak pada kombinasi kejeniusan strategi, keunggulan persenjataan prajurit hoplite, formasi phalanx yang tak tertembus, dan kepemimpinan Leonidas yang menggetarkan jiwa.

Jalan Menuju Perang: Ambisi Persia dan Persatuan Yunani

Konflik antara Yunani dan Persia tidak dimulai di Thermopylae. Akarnya berawal dari Pemberontakan Ionia (499-493 SM), ketika kota-kota Yunani di Asia Kecil memberontak melawan kekuasaan Persia. Athena, salah satu negara-kota terkuat, mengirimkan bantuan kepada para pemberontak, sebuah tindakan yang membuat Raja Persia saat itu, Darius I, murka. Setelah memadamkan pemberontakan, Darius bersumpah untuk membalas dendam pada Athena. Invasi pertamanya ke Yunani berakhir dengan kekalahan memalukan di Pertempuran Marathon pada 490 SM.

Darius mulai membangun pasukan yang jauh lebih besar untuk invasi kedua, tetapi ia meninggal sebelum misinya terwujud. Tugas itu jatuh ke tangan putranya, Xerxes I, yang mewarisi ambisi ayahnya. Xerxes mengumpulkan pasukan yang belum pernah ada tandingannya, yang menurut sejarawan Herodotus berjumlah lebih dari dua juta orang, meskipun sejarawan modern memperkirakannya sekitar 300.000 hingga 500.000 prajurit. Pasukan kolosal ini bergerak dari Asia menyeberangi selat Hellespont melalui jembatan ponton yang monumental, sebuah keajaiban rekayasa pada masanya.

Menghadapi ancaman eksistensial ini, negara-kota Yunani yang sering bertikai memilih untuk mengesampingkan perbedaan mereka dan membentuk aliansi pertahanan. Sparta, dengan reputasi militernya yang tak tertandingi, ditunjuk sebagai pemimpin aliansi darat.

Sang Hoplite: Mesin Perang Yunani

Kunci kekuatan militer Yunani adalah prajurit infanteri berat mereka, yang dikenal sebagai hoplite. Hoplite adalah prajurit-warga negara, pria bebas yang mampu membeli peralatannya sendiri, yang disebut panoply. Peralatan mereka jauh lebih superior dibandingkan prajurit Persia pada umumnya.

  • Perlindungan Tubuh: Hoplite dilindungi oleh pelindung dada dari perunggu (cuirass), pelindung tulang kering (greaves), dan helm Korintus yang ikonik. Helm ini menutupi seluruh kepala dan wajah, hanya menyisakan celah sempit untuk mata, memberikan perlindungan maksimal sekaligus penampilan yang mengintimidasi.
  • Perisai Aspis: Senjata pertahanan utamanya adalah perisai besar berbentuk cekung yang disebut aspis. Terbuat dari kayu dan dilapisi perunggu, perisai ini cukup besar untuk melindungi tubuh dari leher hingga paha. Yang paling inovatif adalah sistem pegangannya, argive grip, yang terdiri dari tali di bagian tengah untuk lengan dan pegangan di tepinya. Sistem ini memberikan kontrol yang luar biasa dan membuat perisai lebih stabil saat menahan benturan.
  • Tombak Dory: Senjata utama hoplite adalah tombak sepanjang delapan hingga sembilan kaki yang disebut dory. Ujungnya terbuat dari besi tajam, sementara pangkalnya memiliki paku perunggu yang disebut sauroter yang berfungsi sebagai penyeimbang dan senjata cadangan. Panjang dory memberikan keunggulan jangkauan yang signifikan atas tombak dan pedang pendek pasukan Persia.
  • Pedang Xiphos: Untuk pertempuran jarak dekat, hoplite membawa pedang pendek berbilah ganda yang disebut xiphos. Ukurannya yang ringkas sangat efektif untuk menusuk di antara celah perisai lawan ketika formasi menjadi sangat rapat.

Prajurit Persia, sebaliknya, umumnya hanya mengenakan baju zirah ringan dari linen berlapis dan membawa perisai anyaman yang tidak efektif menahan tusukan tombak hoplite. Dalam pertarungan satu lawan satu, seorang hoplite hampir selalu unggul berkat peralatannya.

Phalanx dan Pilihan Medan Pertempuran

Kekuatan hoplite tidak hanya terletak pada individu, tetapi pada formasi mereka: phalanx. Phalanx adalah formasi persegi panjang yang padat di mana para hoplite berdiri bahu-membahu dalam beberapa baris. Mereka mengunci perisai mereka, menciptakan dinding perunggu yang kokoh. Barisan depan akan menahan serangan, sementara barisan di belakangnya dapat menusukkan tombak mereka melewati celah-celah, memungkinkan seluruh formasi untuk terlibat dalam pertempuran secara bersamaan.

Jenderal Athena, Themistocles, menyadari bahwa satu-satunya cara untuk mengalahkan pasukan Persia yang masif adalah dengan meniadakan keunggulan jumlah mereka. Celah Thermopylae adalah lokasi yang sempurna. Di titik tersempitnya, yang disebut Gerbang Tengah, lebarnya tidak lebih dari 20 meter. Medan ini memaksa pasukan Persia untuk menyerang dalam gelombang-gelombang kecil, berhadapan langsung dengan dinding phalanx Yunani yang tak tergoyahkan. Pegunungan di satu sisi dan laut di sisi lain juga mencegah kavaleri Persia yang kuat untuk melakukan manuver mengapit.

Tiga Hari Pertempuran Heroik

Ketika pasukan Persia tiba, Xerxes menunggu selama empat hari, berharap pasukan Yunani yang kecil akan mundur ketakutan. Ketika mereka tidak beranjak, Xerxes memerintahkan serangan.

Hari Pertama: Gelombang pertama terdiri dari pasukan Medes dan Cissians. Mereka menyerbu ke arah phalanx Yunani hanya untuk dihancurkan oleh dinding perisai dan hutan tombak. Herodotus mencatat bahwa pasukan Sparta menggunakan taktik mundur pura-pura yang cerdik. Mereka akan berpura-pura melarikan diri, memancing pasukan Persia untuk mengejar dalam formasi yang kacau, lalu tiba-tiba berbalik dan membantai mereka. Di penghujung hari, Xerxes mengirimkan pasukan elitenya, “The Immortals,” yang berjumlah 10.000 orang. Namun, mereka juga gagal menembus pertahanan Yunani dan menderita kerugian besar.

Hari Kedua: Xerxes, yakin bahwa pasukan Yunani yang kecil pasti telah kelelahan, melanjutkan serangannya. Namun, Leonidas dengan cerdik merotasi pasukannya, menjaga agar barisan depan selalu diisi oleh prajurit yang segar. Lagi-lagi, serangan Persia gagal total. Moral pasukan Persia anjlok, sementara semangat Yunani membara.

Pengkhianatan dan Pengorbanan Terakhir: Kemenangan Persia akhirnya datang bukan melalui kekuatan, melainkan pengkhianatan. Seorang penduduk lokal bernama Ephialtes, demi imbalan besar, memberitahu Xerxes tentang sebuah jalur rahasia di pegunungan yang dapat digunakan untuk mengapit posisi Yunani. Leonidas sebenarnya telah menempatkan 1.000 prajurit Phocis untuk menjaga jalur ini, tetapi mereka terkejut oleh serangan mendadak pasukan Immortals dan melarikan diri.

Mengetahui bahwa posisinya telah dikepung, Leonidas mengadakan dewan perang. Ia memutuskan untuk tetap tinggal dan bertempur sampai mati. Ia memerintahkan sebagian besar pasukan sekutu untuk mundur dan menyelamatkan diri, sementara ia akan menahan pasukan Persia selama mungkin. Bersamanya, tinggal 300 prajurit Sparta, 700 prajurit Thespia yang secara sukarela memilih untuk mati bersama mereka, dan sekitar 400 prajurit Thebes yang dipaksa tinggal.

Pada hari ketiga, pasukan kecil ini maju dari celah sempit untuk menghadapi seluruh kekuatan Persia, dengan tujuan menimbulkan kerusakan sebanyak mungkin. Mereka bertempur dengan keganasan yang luar biasa. Tombak-tombak mereka patah, dan mereka terus bertarung dengan pedang. Leonidas gugur dalam pertempuran sengit ini, dan pertempuran sengit terjadi di atas jenazahnya. Sisa-sisa pasukannya yang masih hidup mundur ke sebuah bukit kecil, di mana mereka akhirnya dikepung dan dihujani panah hingga tidak ada yang tersisa.

Warisan Thermopylae

Pengorbanan Leonidas dan pasukannya di Thermopylae bukanlah kesia-siaan. Meskipun secara taktis mereka kalah, secara strategis itu adalah sebuah kemenangan moral yang gemilang. Aksi mereka memberikan waktu yang sangat berharga bagi armada Yunani untuk mundur dari Artemisium dan bagi Athena untuk mengevakuasi penduduknya.

Lebih penting lagi, kisah keberanian mereka menyebar ke seluruh Yunani, menyatukan negara-kota yang terpecah belah dalam tekad bersama untuk melawan penjajah. Inspirasi dari Thermopylae menjadi bahan bakar bagi kemenangan-kemenangan Yunani berikutnya di Pertempuran Salamis dan Plataea, yang pada akhirnya mengusir pasukan Persia dari tanah Yunani.

Hingga hari ini, Pertempuran Thermopylae tetap menjadi simbol tertinggi dari keberanian, pengorbanan, dan perjuangan membela kebebasan melawan segala rintangan. Seperti yang tertulis pada tugu peringatan di sana: “Wahai orang asing, sampaikan pada orang-orang Lacedaemon (Sparta), bahwa kami yang terbaring di sini taat pada perintah mereka”.

Bibliografi

Greer, Phillip. “The Greek Hoplite at the Battle of Thermopylae.” The Saber and Scroll Journal 10, no. 2 (Winter 2021): 51–65.

Herodotus. The Persian Wars. Diterjemahkan oleh A. D. Godley. Loeb Classical Library. London: William Heinemann, 1928.

Kleist, Joseph. “The Battle of Thermopylae: Principles of War on the Ancient Battlefield.” Studia Antiqua 6, no. 1 (2008): 75-86.

Baca juga: Kemeriahan Idul Adha di Jantung Khilafah: Tradisi Kurban Era Turki Utsmani

Loading

Tagged:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *