Sebuah skenario yang lahir dari mimpi demam paling liar: di puncak-puncak neraka beku Pegunungan Alpen, tempat para dewa pun enggan menjejakkan kaki, sebuah legiun hantu berbaris menembus badai salju yang menusuk tulang. Puluhan ribu prajurit, ditempa oleh matahari Afrika dan kerasnya tanah Spanyol, merayap di antara jurang maut dan tebing es. Namun, di antara mereka, bergeraklah mimpi buruk yang menjadi nyata, yaitu makhluk-makhluk kolosal dari negeri antah berantah, Gajah Perang, yang setiap langkahnya di atas es adalah pertaruhan antara hidup dan mati. Lengkingan terompet mereka yang putus asa bukanlah sekadar suara, melainkan jeritan perang melawan alam itu sendiri, sebuah gema yang merobek keheningan abadi lembah-lembah kematian.
Pemandangan ini bukan fiksi. Ini adalah wasiat dari ambisi membara, sebuah manuver militer paling nekat yang pernah terukir dalam sejarah darah dan baja.
Dan di ujung tombak dari barisan terkutuk ini, berdiri seorang Panglima, yang namanya akan menjadi kutukan yang dibisikkan dengan gemetar di lorong-lorong Senat Romawi: Hannibal Barca. Ini adalah saga tentang sumpahnya yang ditempa dalam api dendam, kejeniusan taktisnya yang setajam pedang algojo, dan ambisi gilanya yang menyeret puluhan ribu nyawa, melintasi benteng alam terkejam di dunia, hanya untuk satu tujuan: merobohkan gerbang Roma dan menantang takdir di jantung kekuasaannya.
Akar Dendam: Sumpah di Altar Para Dewa
Untuk memahami mengapa Hannibal Barca melakukan perjalanan yang hampir mustahil ini, kita harus kembali satu generasi sebelumnya. Kartago, sebuah kerajaan maritim yang kuat di pantai Tunisia modern, baru saja mengalami kekalahan telak dan memalukan dari Roma dalam Perang Punisia Pertama (264-241 SM). Mereka kehilangan Sisilia, Sardinia, dan supremasi angkatan laut mereka. Kekalahan ini tidak hanya merugikan secara ekonomi tetapi juga menanamkan luka yang dalam di hati bangsa Kartago, terutama bagi seorang komandan bernama Hamilcar Barca.
Menurut sejarawan Romawi, Livy dan Polybius, Hamilcar membawa putranya yang masih berusia sembilan tahun, Hannibal, ke sebuah altar suci. Di sana, di hadapan para dewa, ia meminta putranya bersumpah untuk tidak pernah menjadi teman Roma dan selalu menjadi musuh abadi mereka. Hannibal kecil meletakkan tangannya di atas korban persembahan dan mengucap sumpah itu. Sumpah inilah yang menjadi api pendorong seluruh hidupnya.
Setelah kematian Hamilcar, Hannibal mengambil alih komando pasukan Kartago di Spanyol pada usia 26 tahun. Ia bukan sekadar komandan warisan; ia adalah seorang pemimpin yang karismatik dan ahli strategi yang brilian. Ia memperluas wilayah Kartago di Semenanjung Iberia, mengasah pasukannya menjadi mesin perang yang tangguh dan setia, terdiri dari tentara bayaran dari berbagai suku (Numidia, Iberia, Libya, dan Balearik).
Percikan Api Perang: Pengepungan Saguntum
Hannibal tahu bahwa konfrontasi langsung dengan Roma tak terhindarkan. Ia hanya butuh pemicu yang tepat. Pemicu itu adalah Saguntum, sebuah kota di Spanyol yang merupakan sekutu Roma. Pada tahun 219 SM, dengan sengaja Hannibal mengepung dan menaklukkan kota tersebut setelah pertempuran sengit selama delapan bulan. Ini adalah tindakan provokasi yang diperhitungkan dengan matang.
Roma, seperti yang diduga Hannibal, marah besar. Mereka mengirim utusan ke Kartago menuntut penyerahan Hannibal. Ketika dewan Kartago menolak, utusan Romawi itu, menurut legenda, memegang lipatan toganya dan berkata, “Di sini aku membawa perang dan damai. Pilihlah.” Dewan Kartago balas berteriak, “Berikan kami apa yang kau inginkan!” Dan dengan itu, Perang Punisia Kedua pun dimulai.
Namun, Hannibal Barca tidak punya niat untuk berperang secara defensif. Pengalaman Perang Punisia Pertama mengajarkan kepadanya bahwa Roma tidak dapat dikalahkan di laut. Angkatan laut mereka terlalu dominan. Bertarung di Spanyol atau Afrika hanya akan menjadi pengulangan sejarah. Ia merencanakan sesuatu yang jauh lebih radikal: membawa perang langsung ke jantung Italia.
Manuver Mustahil: Perjalanan Menuju Alpen
Rencana Hannibal Barca sangat berani hingga nyaris gila. Ia akan berbaris dari Spanyol, menyeberangi Pegunungan Pyrenees, melintasi Sungai Rhône yang deras, dan kemudian menaklukkan rintangan paling menakutkan dari semuanya yaitu Pegunungan Alpen sebelum musim dingin tiba. Ia ingin muncul di Lembah Po di Italia utara secara tak terduga, mengumpulkan suku-suku Galia yang membenci Roma sebagai sekutu, dan menghancurkan legiun-legiun Romawi satu per satu.
Pada musim semi 218 SM, ia berangkat dari pangkalan Spanyolnya, Carthago Nova (sekarang Cartagena), dengan kekuatan yang diperkirakan sekitar 90.000 prajurit infanteri, 12.000 kavaleri, dan, yang paling terkenal, 37 gajah perang.
Perjalanan itu adalah sebuah cobaan berat sejak awal. Penyeberangan Pyrenees memakan banyak korban jiwa akibat pertempuran dengan suku-suku lokal. Kemudian datang tantangan menyeberangi Sungai Rhône yang lebar dan berarus deras, sementara suku-suku Galia yang bermusuhan menunggu di seberang. Kejeniusan Hannibal Barca kembali bersinar. Ia mengirim sebagian pasukannya ke hulu untuk menyeberang secara diam-diam dan menyerang musuh dari belakang. Sementara itu, untuk menyeberangkan gajah-gajahnya yang panik, ia membangun rakit-rakit besar yang ditutupi tanah agar terlihat seperti daratan, lalu menariknya ke seberang sungai.
Namun, semua ini hanyalah pemanasan untuk tantangan utama: Pegunungan Alpen. Saat pasukan Hannibal mulai mendaki pada musim gugur, cuaca berubah menjadi musuh yang mematikan. Salju mulai turun, jalur setapak menjadi licin dan berbahaya, dan suhu anjlok. Pasukannya, yang terbiasa dengan iklim hangat Afrika dan Spanyol, menderita radang dingin, kelaparan, dan kelelahan. Jurang-jurang yang dalam menelan manusia, kuda, dan bagal.
Seolah alam belum cukup kejam, suku-suku Alpen seperti Allobroges melancarkan serangan gerilya, menyergap barisan panjang pasukan dari ketinggian, dan menggelindingkan batu-batu besar ke arah mereka. Gajah-gajah, meskipun menakutkan bagi para penyerang, juga menjadi target dan sering kali panik, menyebabkan lebih banyak kekacauan di jalur yang sempit. Selama 15 hari yang mengerikan, pasukan itu berjuang melewati neraka beku tersebut. Hannibal terus-menerus memberikan semangat kepada pasukannya, menunjuk ke arah cakrawala dan berjanji, “Di balik sana, bukan hanya tembok Italia, tetapi juga kota Roma itu sendiri.”
Ketika mereka akhirnya turun ke Lembah Po di Italia, pemandangan itu menyedihkan. Dari kekuatan awal yang besar, Hannibal hanya tersisa dengan sekitar 26.000 prajurit (kurang dari sepertiga kekuatan aslinya) dan hanya beberapa gajah yang selamat. Pasukannya compang-camping, kelaparan, dan kelelahan. Tapi mereka berhasil. Mereka telah melakukan hal yang mustahil.
Badai di Italia: Kemenangan Beruntun Sang Jenderal
Bagi Roma, kemunculan Hannibal di Italia adalah sebuah kejutan besar. Mereka mengira perang akan terjadi di Spanyol dan Sisilia. Dengan cepat mereka mengirim legiun di bawah konsul Publius Cornelius Scipio (ayah dari Scipio Africanus yang terkenal) untuk mencegatnya.
Di tepi Sungai Ticinus dan kemudian di dataran Trebia (218 SM), Hannibal Barca menunjukkan keunggulannya. Menggunakan kavaleri Numidianya yang superior dan pemahaman mendalam tentang psikologi musuh, ia menghancurkan dua pasukan Romawi. Kemenangan ini meyakinkan banyak suku Galia untuk bergabung dengannya, memperkuat barisannya yang menipis.
Tahun berikutnya, pada 217 SM, ia melakukan salah satu manuver penyergapan terbesar dalam sejarah militer di Danau Trasimene. Ia memancing konsul Romawi yang gegabah, Gaius Flaminius, untuk mengejarnya di sepanjang jalan sempit di tepi danau yang diselimuti kabut pagi. Pasukan Hannibal yang tersembunyi di perbukitan di atasnya kemudian turun, menjebak dan membantai hampir seluruh pasukan Romawi yang berjumlah 30.000 orang. Roma dilanda kepanikan.
Puncak kejeniusan militer Hannibal datang pada tahun 216 SM di Pertempuran Cannae. Menghadapi pasukan Romawi terbesar yang pernah dikumpulkan, sekitar lebih dari 80.000 orang, Hannibal, dengan pasukan yang jauh lebih kecil, melakukan taktik yang akan dipelajari di akademi militer selama ribuan tahun. Ia menempatkan infanteri Galia dan Spanyolnya yang lebih lemah di tengah dalam formasi bulan sabit yang menjorok ke depan. Ketika legiun Romawi yang besar menyerbu ke tengah, barisan Hannibal perlahan-lahan mundur sesuai rencana, menarik pasukan Romawi lebih dalam ke dalam “kantung”. Pada saat yang menentukan, kavaleri superior Hannibal yang telah mengalahkan kavaleri Romawi di kedua sayap, berputar dan menyerang bagian belakang legiun yang sudah terkepung.
Hasilnya adalah pembantaian total. Diperkirakan 50.000 hingga 70.000 tentara Romawi tewas hari itu. Cannae adalah kekalahan paling dahsyat dalam sejarah Roma dan merupakan mahakarya taktis Hannibal.
Mengapa Roma Tidak Jatuh?
Setelah Cannae, banyak yang mengira Hannibal akan langsung berbaris menuju Roma itu sendiri. Namun, ia tidak melakukannya, sebuah keputusan yang diperdebatkan oleh para sejarawan hingga hari ini. Mengapa? Ada beberapa alasan kompleks. Pertama, pasukannya, meskipun menang, telah menderita kerugian dan tidak memiliki peralatan pengepungan yang memadai untuk menaklukkan tembok Roma yang kokoh. Kedua, strateginya tidak pernah untuk menduduki Roma, tetapi untuk menghancurkan aliansi Romawi, meyakinkan kota-kota sekutunya untuk membelot dan dengan demikian melumpuhkan kekuatan Roma dari dalam.
Meskipun beberapa kota di Italia selatan bergabung dengannya, sebagian besar sekutu utama Roma di Italia tengah tetap setia. Roma, meskipun terguncang, menolak untuk menyerah. Mereka mengadopsi “Strategi Fabian” yang dinamai menurut diktator Quintus Fabius Maximus, yang menghindari pertempuran terbuka dengan Hannibal dan fokus pada perang gesekan, mengganggu jalur pasokannya.
Selama lebih dari satu dekade, Hannibal tetap tak terkalahkan di tanah Italia, tetapi ia tidak pernah bisa memberikan pukulan mematikan. Kurangnya dukungan yang konsisten dari pemerintah Kartago dan kebangkitan seorang jenderal Romawi yang brilian, Scipio Africanus, yang telah mempelajari taktik Hannibal, perlahan-lahan mengubah arah perang. Scipio menaklukkan pangkalan Hannibal di Spanyol dan kemudian membawa perang ke Afrika, memaksa Kartago untuk memanggil pulang pahlawan terbesar mereka.
Pada tahun 202 SM, di Pertempuran Zama, tak jauh dari Kartago, Hannibal Barca akhirnya dikalahkan oleh Scipio, yang menggunakan taktik serupa dengan yang digunakan Hannibal di Cannae. Perang pun berakhir.

Warisan Abadi
Meskipun pada akhirnya kalah, perjalanan Hannibal melintasi Alpen tetap menjadi bukti kejeniusan, ketekunan, dan keberanian manusia yang luar biasa. Ia adalah seorang ahli strategi yang mengubah wajah peperangan kuno. Ia membawa Roma ke ambang kehancuran seperti yang tidak pernah dilakukan oleh musuh lain sebelumnya atau sesudahnya. Kisahnya adalah epik abadi tentang bagaimana seorang pria, didorong oleh sumpah masa kecilnya, menantang sebuah imperium dengan melakukan hal yang dianggap mustahil oleh semua orang, melintasi pegunungan salju dengan gajah perang untuk mengguncang dunia.
Bibliografi
Bishop, M.C., & Coulston, J.C.N. (2006). Roman Military Equipment From the Punic Wars to the Fall of Rome (Edisi Kedua). Oxford: Oxbow Books.
Bradford, E. (1981).Hannibal. London: Hamish Hamilton.
Darmawan, A., Badrudin, A., Anwar, S., Ali, Y., & Sarjito, A. (n.d.). The Destruction of Maritime Civilization Due to the Punik I War between Kartago and Roman (264 – 241 BC). Budapest International Research and Critics Institute-Journal (BIRCI-Journal).
Hunt, P.N. (2017).Hannibal. New York: Simon & Schuster.
Lam, H.Y. (2018). Why Hannibal Lost the Second Punic War. Armstrong Undergraduate Journal of History, 8(2). Diterbitkan oleh Georgia Southern Commons.
Lomas, K. (2018).The Rise of Rome: From the Iron Age to the Punic Wars. Cambridge, MA: The Belknap Press of Harvard University Press.
Peck, A.T. (1984).Great Warriors: Hannibal Barca and Publius Cornelius Scipio Africanus. Maxwell AFB, AL: Air Command and Staff College.
Baca juga: Hun: Legiun Berkuda dari Timur yang Mengguncang Eropa dan Romawi