Anak benua India, dengan peradabannya yang kaya dan usianya yang ribuan tahun, telah menjadi saksi bisu dari pasang surutnya berbagai kekaisaran. Namun, pada awal abad ke-13, sebuah kekuatan baru muncul dan mengubah lanskap politik, sosial, dan budaya secara fundamental. Kekuatan itu adalah Kesultanan Delhi, negara Islam besar pertama yang berakar kuat di tanah Hindustan. Berdirinya Kesultanan Delhi bukan hanya menandai dimulainya era baru kekuasaan Muslim yang bertahan selama lebih dari tiga abad, tetapi juga menjadi benteng pertahanan peradaban Islam dari ancaman eksternal yang dahsyat. Inilah kisah awal mula berdirinya sebuah kesultanan yang akan membentuk takdir jutaan manusia di Asia Selatan.
Latar Belakang: Gema Pedang dari Ghazni dan Ghor
Dalam memahami berdirinya Kesultanan Delhi pada tahun 1206, kita harus menarik mundur garis waktu ke beberapa dekade sebelumnya. Gelombang awal invasi Muslim ke India Utara dipelopori oleh Mahmud Ghaznavi pada awal abad ke-11. Namun, ekspedisi Mahmud lebih bersifat serangkaian serangan kilat untuk meraup kekayaan kuil-kuil Hindu yang makmur daripada membangun sebuah imperium permanen. Kampanyenya memang berhasil menaklukkan Punjab, tetapi jantung Hindustan tetap berada di bawah kendali dinasti-dinasti Rajput yang terpecah-pecah.
Panggung sejarah baru benar-benar disiapkan oleh Dinasti Ghurid, sebuah klan penguasa dari wilayah pegunungan Ghor di Afghanistan modern. Berbeda dengan Mahmud, penguasa Ghurid, khususnya Sultan Mu’izzuddin Muhammad Ibnu Sam, yang lebih dikenal sebagai Muhammad Ghori, memiliki ambisi yang jauh lebih besar: ekspansi dan penaklukan permanen. Setelah mengonsolidasikan kekuasaannya di Afghanistan, pandangannya tertuju ke timur, ke dataran subur India.
Titik balik yang menentukan terjadi dalam dua pertempuran legendaris di Tarain. Pada tahun 1191, dalam Pertempuran Tarain Pertama, pasukan Ghurid yang dipimpin oleh Muhammad Ghori mengalami kekalahan telak di tangan koalisi Rajput yang dipimpin oleh Prithviraj Chauhan, penguasa Ajmer dan Delhi. Namun, kekalahan ini tidak mematahkan semangatnya. Setahun kemudian, pada tahun 1192, Muhammad Ghori kembali dengan pasukan yang lebih besar dan strategi yang lebih matang. Dalam Pertempuran Tarain Kedua, ia berhasil menghancurkan pasukan Rajput. Kemenangan ini bukan sekadar kemenangan biasa; ia adalah kunci yang membuka gerbang India Utara bagi para penakluk Muslim. Prithviraj Chauhan ditangkap dan dieksekusi, dan kota-kota strategis seperti Ajmer dan Delhi jatuh ke tangan Ghurid.
Dari Jenderal Budak Menjadi Sultan: Kemunculan Quthbuddin Aibak
Muhammad Ghori adalah seorang kaisar, bukan administrator lapangan. Setelah kemenangan besarnya, ia kembali ke jantung kekuasaannya di Khurasan dan menunjuk jenderalnya yang paling tepercaya, Quthbuddin Aibak, sebagai gubernur untuk wilayah-wilayah India yang baru ditaklukkan. Di sinilah babak baru dimulai.
Aibak adalah produk dari sistem militer yang unik pada masanya. Ia adalah seorang mamluk, atau budak-prajurit asal Turki, yang dibeli di masa mudanya dan dilatih secara intensif dalam seni perang dan administrasi. Dalam masyarakat Islam abad pertengahan, status budak tidak selalu berarti rendah. Para mamluk yang berbakat bisa naik ke posisi kekuasaan tertinggi, dan Aibak adalah contoh utamanya.
Selama lebih dari satu dekade, Aibak dengan setia mengabdi pada Muhammad Ghori. Ia memimpin pasukan Ghurid lebih jauh ke dalam wilayah India, menaklukkan wilayah-wilayah di sekitar Gangga dan memperluas kendali Ghurid. Ia menunjukkan kombinasi antara kebrutalan di medan perang dan kedermawanan setelahnya. Karena kemurahan hatinya dalam membagikan harta rampasan, ia mendapat julukan Lakh Bakhsh (Pemberi Ratusan Ribu).
Pada tahun 1206, sebuah peristiwa tak terduga mengubah segalanya. Muhammad Ghori dibunuh dalam perjalanannya kembali ke Afghanistan. Kematian sang sultan menciptakan kekosongan kekuasaan yang berbahaya. Imperium Ghurid yang luas terancam pecah menjadi beberapa bagian yang dikuasai oleh jenderal-jenderal yang ambisius. Di tengah ketidakpastian ini, Quthbuddin Aibak mengambil langkah tegas. Dengan dukungan para bangsawan Turki di India, ia memproklamasikan dirinya sebagai penguasa independen atas wilayah-wilayah India. Ia memindahkan pusat kekuasaannya dari Lahore ke Delhi, sebuah langkah simbolis yang menandai lahirnya sebuah entitas politik baru: Kesultanan Delhi.
Meskipun pemerintahannya singkat (1206–1210), Aibak meletakkan fondasi penting. Ia memulai pembangunan kompleks Qutb di Delhi, termasuk Masjid Quwwatul Islam (Kekuatan Islam) yang dibangun di atas reruntuhan kuil Hindu dan Jain, serta menara kemenangan megah, Qutb Minar. Pembangunan ini bukan hanya soal arsitektur; ini adalah pernyataan kekuasaan yang permanen dan tak terbantahkan. Sayangnya, pemerintahannya berakhir secara tragis ketika ia jatuh dari kuda dan meninggal saat bermain chaugan (polo berkuda) pada tahun 1210.
Konsolidasi di Bawah Iltutmish: Arsitek Sejati Kesultanan
Jika Aibak adalah sang pendiri, maka Syamsuddin Iltutmish adalah arsitek sejati Kesultanan Delhi. Seperti Aibak, Iltutmish juga seorang budak-prajurit Turki dari suku Ilbari. Ia adalah menantu Aibak dan telah menunjukkan kemampuannya sebagai gubernur Badaun. Setelah kematian Aibak yang mendadak, putranya yang tidak kompeten, Aram Shah, naik takhta. Namun, para bangsawan di Delhi, yang menyadari kerapuhan negara yang baru lahir itu, mengundang Iltutmish untuk mengambil alih kekuasaan.
Iltutmish naik takhta pada tahun 1211 di tengah badai krisis. Pemerintahannya selama 25 tahun (1211–1236) adalah periode konsolidasi dan legitimasi yang krusial. Ia menghadapi tiga ancaman besar:
- Rival Internal: Ia harus berhadapan dengan jenderal-jenderal Ghurid lainnya yang juga mengklaim kedaulatan, seperti Nasir al-Din Qabacha di Multan dan Tajuddin Yildiz di Ghazni. Melalui serangkaian kampanye militer yang brilian, Iltutmish berhasil mengalahkan keduanya dan menyatukan seluruh wilayah India Utara di bawah panjinya.
- Pemberontakan Rajput: Banyak penguasa Hindu lokal yang melihat kematian Aibak sebagai kesempatan untuk merebut kembali kemerdekaan mereka. Iltutmish menghabiskan bertahun-tahun untuk menekan pemberontakan ini, merebut kembali benteng-benteng strategis seperti Ranthambore dan Gwalior, dan menegaskan kembali supremasi Kesultanan.
- Ancaman Mongol: Ini mungkin adalah tantangan terbesar dan paling berbahaya. Pada tahun 1221, Genghis Khan dan pasukan Mongolnya yang tak terkalahkan muncul di tepi Sungai Indus, mengejar pangeran Khwarazmian yang melarikan diri, Jalaluddin Mangburni. Jalaluddin meminta suaka kepada Iltutmish. Di sinilah kecerdasan diplomatik Iltutmish bersinar. Ia sadar bahwa memberikan perlindungan kepada musuh Genghis Khan sama saja dengan mengundang kehancuran total bagi kesultanannya yang masih muda. Dengan sangat hati-hati, Iltutmish menolak permintaan tersebut secara diplomatis. Keputusannya terbukti sangat bijaksana. Bangsa Mongol, setelah gagal menangkap Jalaluddin, akhirnya menarik diri dari perbatasan India tanpa melakukan invasi besar-besaran. Dengan langkah ini, Iltutmish telah menyelamatkan India dari nasib mengerikan yang menimpa Persia dan Asia Tengah.
Setelah berhasil mengatasi ancaman-ancaman ini, Iltutmish fokus pada pembangunan institusi negara. Ia mereformasi administrasi, memindahkan ibu kota secara permanen ke Delhi, dan memperkenalkan mata uang standar pertama Kesultanan: tanka perak dan jital tembaga. Ia juga mengorganisir kelompok elite bangsawan Turki yang dikenal sebagai Turkan-i-Chihilgani atau “Korps Empat Puluh” yang menjadi tulang punggung militer dan administrasi negara.
Puncak pencapaiannya datang pada tahun 1229. Iltutmish menerima jubah kehormatan dan pengakuan resmi (manshur) dari Khalifah Abbasiyah di Baghdad. Pengakuan ini memiliki nilai simbolis yang luar biasa. Ia secara resmi melegitimasi Kesultanan Delhi sebagai sebuah negara Islam yang merdeka dan berdaulat di mata dunia Muslim Sunni. Iltutmish tidak lagi hanya seorang mantan budak yang merebut kekuasaan, tetapi seorang Sultan yang diakui oleh pemimpin spiritual tertinggi umat Islam.
Warisan Awal dan Signifikansi
Berdirinya Kesultanan Delhi di bawah kepemimpinan Aibak dan konsolidasi oleh Iltutmish merupakan sebuah tonggak sejarah yang monumental. Ini bukan lagi sekadar invasi, melainkan pembentukan sebuah negara yang kompleks dengan aspirasi permanen. Fondasi yang mereka bangun memungkinkan kesultanan ini bertahan selama berabad-abad, melewati berbagai dinasti, dari Mamluk ke Khalji, Tughluq, Sayyid, dan Lodi, sebelum akhirnya digantikan oleh Kesultanan Mughal.
Secara signifikan, Kesultanan Delhi menjadi pusat perlindungan bagi para sarjana, penyair, seniman, dan sufi yang melarikan diri dari kehancuran yang disebabkan oleh invasi Mongol di Asia Tengah dan Persia. Delhi berubah menjadi salah satu kota terpenting di dunia Islam, sebuah pusat budaya dan intelektual yang dinamis.
Kisah awal mula berdirinya Kesultanan Delhi adalah narasi tentang ambisi, kebrutalan, kecerdasan politik, dan kemampuan untuk beradaptasi. Dari medan perang Tarain hingga manuver diplomatik Iltutmish, setiap langkah adalah bagian dari proses pembentukan sebuah imperium yang akan mendefinisikan kembali sejarah anak benua Asia untuk selamanya.
Bibliografi
Ahmed, Fouzia Farooq. Muslim Rule in Medieval India: Power and Religion in the Delhi Sultanate. I.B. Tauris, 2016.
Eraly, Abraham. The Age of Wrath: A History of the Delhi Sultanate. Penguin Books India, 2014.
Jackson, Peter. The Delhi Sultanate: A Political and Military History. Cambridge University Press, 1999.
Nossov, Konstantin S. Indian Castles 1206–1526: The Rise and Fall of the Delhi Sultanate. Osprey Publishing, 2006.
Baca juga: Leonidas dan Pengorbanan Sparta: Sejarah Pertempuran Thermopylae