Panggung sejarah Islam abad ke-15 Masehi menjadi saksi bisu dari pertarungan dua kekuatan raksasa yang dipimpin oleh dua penguasa Muslim paling ambisius di era mereka. Di satu sisi, berdiri Kesultanan Utsmani yang sedang menanjak, dipimpin oleh Sultan Bayazid I, yang dijuluki “Yıldırım” atau “Sang Kilat” karena kecepatan gerak militernya yang luar biasa. Di sisi lain, Imperium Timuriyah yang perkasa, dibangun di atas puing-puing kekaisaran Mongol, dipimpin oleh seorang penakluk ganas dan jenius militer, Timur Lenk. Keduanya adalah Muslim, keduanya adalah penakluk ulung, dan keduanya memiliki visi untuk menjadi kekuatan dominan di dunia. Tak pelak, ambisi yang saling bersahutan ini membawa mereka ke dalam sebuah konfrontasi yang tak terhindarkan, sebuah duel yang akan menentukan nasib dunia Islam dan mengguncang fondasi kekuasaan di Eurasia. Puncak dari persaingan ini adalah Pertempuran Ankara pada tahun 1402, sebuah pertarungan titan yang gaungnya masih terasa hingga berabad-abad kemudian.
Sang Kilat dari Barat: Sultan Bayazid I
Sultan Bayazid I, sultan keempat dari dinasti Utsmani, naik takhta pada tahun 1389 M menggantikan ayahnya, Murad I. Ia mewarisi sebuah kerajaan yang sedang dalam fase ekspansi pesat, dan dengan semangat jihad yang membara, ia melanjutkan warisan tersebut dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Karakternya yang pemberani, cerdas, dan murah hati, diimbangi dengan ambisi ekspansi yang tak terbatas, membuatnya menjadi sosok yang disegani kawan maupun lawan.
Perhatian utamanya tercurah pada urusan militer. Dengan kecepatan gerak pasukannya yang legendaris, ia mampu berpindah dari medan perang di Anatolia ke Balkan dalam waktu singkat, seolah-olah berada di dua tempat sekaligus. Kemampuan inilah yang memberinya julukan “Yıldırım” atau “Sang Kilat”. Dalam waktu singkat, ia berhasil menaklukkan negara-negara Kristen di Anatolia dan memperluas kekuasaan Utsmani hingga ke jantung Eropa.
Salah satu pencapaian militernya yang paling gemilang adalah kemenangannya atas pasukan Salib multinasional yang dipimpin oleh Raja Sigismund dari Hongaria dalam Pertempuran Nicopolis pada tahun 1396. Kemenangan ini tidak hanya mengukuhkan dominasi Utsmani di Semenanjung Balkan, tetapi juga memberinya pengakuan dari dunia Islam, termasuk dari Khalifah Abbasiyah di Kairo yang memberinya gelar “Sultan Rum” (Sultan atas tanah Romawi), sebuah gelar yang menegaskan posisinya sebagai pewaris kekuasaan Seljuk di Anatolia. Dengan kemenangan demi kemenangan, Bayazid I menjadi pelindung utama dunia Islam Sunni di barat, benteng pertahanan melawan ancaman dari Eropa Kristen dan kekuatan lain yang mengintai.
Sang Penakluk Pincang dari Timur: Timur Lenk
Jauh di timur, di stepa Asia Tengah, bangkit seorang penakluk yang namanya akan diasosiasikan dengan kejeniusan militer sekaligus kekejaman yang tak terhingga: Timur Lenk, atau yang dikenal di Barat sebagai Tamerlane. Dilahirkan pada tahun 1336 di Kesh, dekat Samarkand, Timur adalah seorang keturunan Turki-Mongol dari suku Barlas yang telah memeluk Islam. Nama “Lenk” yang berarti “pincang” melekat padanya setelah ia menderita luka parah di kaki dan tangannya akibat serangan panah, yang membuatnya cacat seumur hidup. Namun, cacat fisiknya sama sekali tidak mengurangi kehebatan dan ambisinya.
Timur memiliki visi besar, yaitu membangun kembali Kekaisaran Mongol yang pernah didirikan oleh Jenghis Khan, tetapi kali ini dalam naungan Islam. Ia adalah seorang pemimpin karismatik yang mampu menyatukan suku-suku nomaden yang sulit diatur, kesetiaan yang hanya bisa dipertahankan melalui penaklukan terus-menerus. Didukung oleh para ulama dan pemimpin tarekat, yang melihatnya sebagai penyebar panji Islam, Timur memulai serangkaian kampanye militer yang brutal namun sangat efektif.
Dari ibukotanya yang megah di Samarkand, pasukannya yang didominasi oleh kavaleri pemanah berkuda Chagatai yang terampil, menyapu bersih wilayah-wilayah dari Rusia selatan hingga India utara, dari Persia hingga Suriah. Ia menaklukkan Khuwarezm, Persia, Azerbaijan, Georgia, Armenia, Baghdad, dan Aleppo. Pada akhir tahun 1400 M, pasukannya berhasil menduduki Damaskus, membawanya langsung ke perbatasan wilayah kekuasaan Kesultanan Utsmani.
Timur bukanlah sekadar perusak. Ia adalah seorang administrator yang ulung dan pelindung ilmu pengetahuan dan seni. Di istananya berkumpul para ahli hukum, astronom, sejarawan, dan budayawan, termasuk sejarawan besar Ibnu Khaldun. Namun, ambisinya untuk menjadi penguasa tunggal di muka bumi, seperti yang pernah ia katakan, “Penguasa Tunggal di angkasa adalah Allah dan bumi pun hanya ada seorang penguasa tunggal, dan dia adalah aku” tak menyisakan ruang bagi kekuatan lain, termasuk kekuatan sesama Muslim.
Benturan Dua Ambisi: Penyebab Konfrontasi
Benturan antara dua raksasa ini tak terelakkan. Keduanya memiliki semangat ekspansi yang sama dan visi untuk menjadi kekuatan terbesar di dunia Islam. Pasukan Bayazid bergerak ke timur, sementara pasukan Timur bergerak ke barat, dan garis batas kekuasaan mereka semakin mendekat. Persaingan politik ini memanas karena beberapa faktor utama.
Pertama, adalah klaim teritorial yang tumpang tindih. Timur Lenk, sebagai pewaris Jenghis Khan, mengklaim kedaulatan atas seluruh emirat Anatolia, berdasarkan fakta historis bahwa Ilkhanate (keturunan Hulagu Khan) pernah menguasai Asia Kecil. Di sisi lain, Bayazid I menganggap dirinya sebagai pewaris Seljuk Rum dan telah diakui oleh Khalifah Abbasiyah sebagai Kaisar Romawi. Ketika Bayazid memperluas kekuasaannya ke Anatolia timur pada akhir 1390-an, bentrokan menjadi tak terhindarkan. Aksi saling merebut wilayah pun terjadi. Pasukan Timur merebut kota Erzerum dan Erzincan dari Utsmani, sementara putra Bayazid, Sulaiman, menaklukkan kota Kamakh, sekutu Timur Lenk.
Kedua, adalah masalah suaka politik. Kedua penguasa ini saling memberikan perlindungan kepada musuh-musuh politik satu sama lain, sebuah tindakan yang dianggap sebagai penghinaan dan tantangan langsung. Bayazid I memberikan perlindungan kepada para penguasa lokal Anatolia yang telah digulingkan oleh Timur, serta kepada Sultan Ahmad Jalayir dari Baghdad dan Qara Yusuf dari Qara Qoyunlu, yang keduanya merupakan musuh bebuyutan Timur. Sebaliknya, Timur menghimpun para penguasa Anatolia yang tidak menyukai Utsmani. Saling berkirim surat yang berisi ancaman dan penghinaan semakin memperkeruh suasana. Timur menuntut Bayazid untuk menyerahkan para buronan tersebut, sebuah permintaan yang ditanggapi Bayazid dengan kemarahan, yang pada akhirnya membuat kedua belah pihak sepakat untuk berperang.
Pertempuran Ankara: Duel Para Titan
Pada 20 Juli 1402, kedua pasukan raksasa ini akhirnya berhadapan di dataran Çubuk, dekat Ankara. Ini bukanlah sekadar pertempuran, melainkan sebuah pertarungan untuk supremasi. Bayazid I memimpin pasukan Utsmani yang terdiri dari infanteri Janissari yang elit, kavaleri sipahi Anatolia dan Rumelia, serta pasukan dari negara-negara vasal Balkan, termasuk Serbia. Timur Lenk, di sisi lain, memimpin pasukan yang lebih besar, terdiri dari kavaleri Turki-Mongol yang telah teruji dalam pertempuran, unit-unit infanteri yang direkrut dari berbagai wilayah taklukannya, dan bahkan gajah-gajah perang yang ia bawa dari kampanyenya di India.
Pertempuran berlangsung sengit. Namun, Timur Lenk, dengan kejeniusan taktiknya, berhasil mengungguli Bayazid. Salah satu faktor penentu kemenangan Timur adalah pengkhianatan di pihak Utsmani. Pasukan kavaleri Tatar, serta pasukan dari beberapa beylik Anatolia yang baru saja ditaklukkan Bayazid, membelot ke pihak Timur di tengah pertempuran. Mereka merasa lebih memiliki kesetiaan kepada para penguasa lama mereka yang kini berada di pihak Timur.
Dikhianati dan kalah jumlah, pasukan Utsmani mulai goyah. Pasukan vasal Serbia, yang dipimpin oleh saudara ipar Bayazid, Stefan Lazarević, bertempur dengan gagah berani untuk melindungi putra-putra Bayazid dan berhasil meloloskan diri dari medan perang. Namun, Sultan Bayazid I sendiri, yang terus bertempur dengan sisa-sisa pasukan Janissarinya di sebuah bukit, akhirnya terkepung dan ditangkap. “Sang Kilat” telah jatuh ke tangan “Sang Penakluk Pincang”.

Warisan Pahit: Akibat Pertempuran
Kekalahan di Ankara adalah bencana besar bagi Kesultanan Utsmani. Bayazid I menjadi tawanan perang dan meninggal dalam kurungan sekitar delapan bulan kemudian. Kematian dan kekalahannya yang memalukan ini menjerumuskan Utsmani ke dalam periode kekacauan dan perang saudara selama lebih dari satu dekade yang dikenal sebagai “Masa Peralihan” (Ottoman Interregnum). Putra-putra Bayazid saling berebut takhta, dan wilayah Anatolia kembali terpecah-pecah menjadi beylik-beylik kecil yang independen di bawah perlindungan Timur.
Bagi Timur Lenk, kemenangan di Ankara adalah puncak dari karier militernya. Ia telah mengalahkan salah satu penguasa Muslim terkuat di dunia dan membuktikan supremasinya. Namun, ia tidak lama menikmati kemenangannya. Setelah mengembalikan kekuasaan kepada para beylik Anatolia, ia kembali ke Samarkand dan mulai merencanakan kampanye terbesarnya: invasi ke Tiongkok. Namun, takdir berkata lain. Timur Lenk meninggal dunia pada tahun 1405 dalam perjalanan menuju Tiongkok, dan kekaisaran raksasanya pun perlahan mulai terurai setelah kematiannya.
Pertarungan antara Sultan Bayazid I dan Timur Lenk adalah sebuah tragedi dalam sejarah Islam, sebuah “perang saudara” antara dua kekuatan Muslim yang seharusnya bisa menjadi benteng pertahanan bersama. Namun, sejarah sering kali dibentuk oleh ambisi pribadi para penguasanya. Duel ini menunjukkan betapa rapuhnya kekuasaan dan betapa cepatnya roda nasib dapat berputar. Kesultanan Utsmani pada akhirnya berhasil bangkit kembali dari keterpurukan dan setengah abad kemudian, di bawah cicit Bayazid, Mehmed II, berhasil menaklukkan Konstantinopel. Sementara itu, imperium Timuriyah, meskipun tidak bertahan lama, meninggalkan warisan budaya dan arsitektur yang gemilang di Asia Tengah. Kisah konfrontasi dua raksasa ini tetap menjadi pengingat abadi tentang kompleksitas kekuasaan, persaingan, dan takdir dalam panggung besar sejarah dunia.
Bibliografi
Atta, Rafif Naufal Surya, dan Najib Jauhari. “Timur Lenk’s Military Invasion in Anatolia in 1402-1403 AD.” JUSPI (Jurnal Sejarah Peradaban Islam) 8, no. 1 (2024).
Fatianda, Septian. “Persaingan Politik Dua Penguasa Besar Dunia Islam Abad 15 M: Sultan Bayazid dan Timur Lenk.” ADABIYA 24, no. 2 (2022).
Inalcik, Halil. The Ottoman Empire: The Classical Age 1300–1600. London: Weidenfeld & Nicolson, 1973.
Manz, Beatrice Forbes. The Rise and Rule of Tamerlane. Cambridge: Cambridge University Press, 1989.
Mengüç, Murat Cem. “Histories of Bayezid I, historians of Bayazid II: Rethinking late fifteenth-century Ottoman historiography.” Bulletin of the School of Oriental and African Studies 76, no. 3 (2013).
Nicolle, David, dan Richard Hook. The Mongol Warlords: Genghis Khan, Kublai Khan, Hulegu, Tamerlane. Poole: Firebird Books, 1990.
Baca artikel menarik lainnya: Dari Buronan Menjadi Amir: Perjalanan Luar Biasa Sang Pendiri Keamiran Cordoba