Home / Tokoh / Dari Buronan Menjadi Amir: Perjalanan Luar Biasa Sang Pendiri Keamiran Cordoba

Dari Buronan Menjadi Amir: Perjalanan Luar Biasa Sang Pendiri Keamiran Cordoba

Sejarah sering kali dipenuhi dengan kisah-kisah yang lebih menakjubkan daripada fiksi. Salah satunya adalah epik kehidupan Abdurrahman bin Muawiyah, seorang pangeran muda yang nasibnya berubah dalam semalam dari kemewahan istana menjadi buronan yang paling dicari. Namun, dari abu tragedi, ia bangkit untuk menempuh perjalanan ribuan kilometer, melintasi gurun dan lautan, untuk mendirikan sebuah dinasti yang akan menjadi mercusuar peradaban di Eropa selama berabad-abad. Inilah kisah Abdurrahman Ad-Dakhil, sang “Elang Quraisy,” pendiri Keamiran Cordoba.

Malam Petaka di Damaskus

Kisah ini dimulai pada tahun 750 Masehi di Damaskus, jantung Kekhalifahan Umayyah yang megah. Abdurrahman adalah cucu dari Khalifah Hisyam bin Abdul Malik, seorang pangeran berusia 19 tahun yang hidup dalam kemewahan dan privilese. Namun, di ufuk timur, badai revolusi telah berkumpul. Pasukan Abbasiyah, dengan panji-panji hitam mereka, berhasil menggulingkan kekuasaan Umayyah yang telah berlangsung selama hampir satu abad.

Kemenangan Abbasiyah tidak hanya berarti pergantian kekuasaan, tetapi juga pemusnahan total. Khalifah baru, Abu Abbas As-Saffah (yang julukannya berarti “Sang Penumpah Darah”), memerintahkan perburuan dan pembantaian seluruh anggota keluarga Bani Umayyah. Abdurrahman menyaksikan sendiri kengerian itu. Dalam sebuah riwayat yang dramatis, ia berhasil meloloskan diri dari pembantaian di sebuah perjamuan maut bersama adik lelakinya yang masih belia. Mereka melarikan diri ke tepi Sungai Eufrat dengan pasukan Abbasiyah di belakang mereka.

Di tepi sungai, para pengejar menjanjikan pengampunan jika mereka menyerah. Sang adik yang ketakutan memercayai mereka dan berenang kembali, hanya untuk dibunuh secara brutal di depan mata Abdurrahman. Peristiwa traumatis ini menempa tekadnya. Dengan hati yang hancur namun semangat yang menyala, Abdurrahman, sang pangeran tanpa kerajaan, memulai perjalanannya sebagai buronan.

Pelarian Epik Melintasi Benua

Selama lima tahun berikutnya, kehidupan Abdurrahman adalah pelarian tanpa henti. Ia melintasi Palestina, Mesir, hingga ke wilayah Ifriqiya (sekarang Tunisia dan sekitarnya) di Afrika Utara. Setiap hari adalah pertaruhan nyawa. Ia harus terus bergerak, bersembunyi di antara suku-suku Badui, menyamar, dan menghindari mata-mata Abbasiyah yang tersebar di mana-mana. Ia ditemani oleh segelintir orang kepercayaan, termasuk budaknya yang setia, Badr.

Afrika Utara terbukti bukan tempat yang aman. Gubernur Ifriqiya, yang juga bernama Abdurrahman, adalah sosok yang kejam dan berambisi menyingkirkan saingan potensial mana pun. Abdurrahman Ad-Dakhil terpaksa hidup dalam persembunyian selama bertahun-tahun di antara suku Berber Nafza, tempat ibunya berasal. Di sinilah, di tengah keputusasaan, secercah harapan muncul dari seberang lautan: Andalusia.

Andalusia, atau Spanyol Islam, adalah negeri yang jauh dari pusat kekuasaan Abbasiyah di Baghdad. Lebih penting lagi, wilayah ini sedang dilanda kekacauan politik. Para penguasa muslim di sana terpecah belah oleh persaingan sengit antara faksi suku Arab, terutama antara suku Yaman (Selatan) dan Qays/Mudar (Utara). Selain itu, ada kontingen besar tentara Suriah (jund), yang dulunya setia kepada Dinasti Umayyah, yang merindukan kepemimpinan dari garis keturunan yang mereka kenal. Kekacauan inilah yang menjadi peluang emas bagi Abdurrahman.

Mendarat di Tanah Harapan

Dari persembunyiannya, Abdurrahman mengutus Badr untuk menyeberang ke Andalusia pada tahun 754 M. Badr dengan cerdik menjalin kontak dengan para pendukung Umayyah dan faksi Yaman yang tidak puas dengan gubernur saat itu, Yusuf Al-Fihri. Mereka melihat pada sosok pangeran muda yang terbuang ini sebuah simbol pemersatu dan legitimasi yang sangat mereka butuhkan.

Setelah mendapatkan janji dukungan, pada bulan Agustus 755 M, Abdurrahman Ad-Dakhil menyeberangi Selat Gibraltar. Ia mendarat di Almuñécar, di pantai selatan Spanyol. Kedatangannya bukanlah kedatangan seorang penakluk dengan pasukan besar, melainkan seorang pemimpin karismatik yang membawa nama besar Umayyah dan janji stabilitas.

Berita kedatangannya menyebar dengan cepat. Para pendukung berdatangan, membentuk pasukan di sekelilingnya. Abdurrahman menunjukkan kejeniusan politik dan militernya sejak awal. Ia berhasil merangkul faksi-faksi yang bertikai, memanfaatkan ketidakpuasan mereka terhadap Yusuf Al-Fihri, dan membangun koalisi yang kuat.

Puncaknya terjadi pada 14 Mei 756 M di Pertempuran Al-Musarah, di luar gerbang Cordoba. Pasukan Yusuf Al-Fihri yang lebih besar dan berpengalaman berhadapan dengan pasukan Abdurrahman yang bersemangat. Dalam sebuah manuver cerdas, Abdurrahman memimpin serangan yang memecah barisan musuh dan memberinya kemenangan telak. Sehari setelahnya, ia memasuki Cordoba dan diproklamasikan sebagai Amir (penguasa) Andalusia. Pangeran buronan itu kini telah memiliki sebuah negeri.

Membangun Fondasi Keamiran Cordoba

Meraih kekuasaan adalah satu hal, mempertahankannya adalah hal lain. Tiga puluh dua tahun masa pemerintahan Abdurrahman I adalah perjuangan tanpa henti untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya dan membangun negara yang stabil. Tantangan datang dari segala penjuru.

Ancaman Internal

Ia harus menghadapi lebih dari dua puluh lima pemberontakan. Faksi-faksi Arab yang telah membantunya naik takhta sering kali berbalik melawannya. Pemberontakan dari suku Berber dan para pendukung Yusuf Al-Fihri juga terus meletus. Abdurrahman menanggapi setiap pemberontakan dengan tangan besi, namun juga dengan diplomasi saat diperlukan. Ia sadar tidak bisa selamanya bergantung pada loyalitas suku yang rapuh. Solusinya adalah dengan membentuk tentara profesional yang terdiri dari tentara bayaran Berber dan budak dari Eropa (Saqaliba) yang loyalitasnya hanya kepadanya seorang, bukan kepada suku atau faksi mana pun.

Ancaman Eksternal

Di timur, Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad tidak pernah merelakan wilayahnya yang hilang. Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur, yang begitu terkesan dengan ketangguhan Abdurrahman hingga menjulukinya Saqr Quraysh (Elang Quraisy), mengirimkan ekspedisi militer untuk merebut kembali Andalusia, namun berhasil digagalkan. Di utara, ancaman datang dari kerajaan Kristen seperti Asturia dan intervensi dari Kekaisaran Franka di bawah Charlemagne. Salah satu kampanye Charlemagne ke Spanyol pada tahun 778 M berakhir dengan kekalahan memalukan pasukannya di Celah Roncevaux, sebuah peristiwa yang kemudian diabadikan dalam epik Prancis La Chanson de Roland.

Di tengah gejolak militer dan politik ini, Abdurrahman meletakkan fondasi bagi sebuah peradaban yang cemerlang. Ia menjadikan Cordoba sebagai ibu kotanya dan mulai mengubahnya menjadi kota yang dapat menyaingi kemegahan Baghdad dan Damaskus.

Warisan Sang Elang Quraisy

Warisan Abdurrahman Ad-Dakhil jauh melampaui penaklukan militer. Ia adalah seorang negarawan visioner.

Arsitektur dan Pembangunan

Proyeknya yang paling abadi adalah pembangunan Masjid Agung Cordoba (sekarang Mezquita-Catedral). Ia memulai konstruksinya pada tahun 786 M di atas sebuah gereja Visigoth. Masjid ini dirancang untuk menyaingi masjid-masjid besar di timur dan menjadi simbol kebangkitan Umayyah di barat. Lengkungan tapal kuda ganda berwarna merah dan putih yang ikonik menjadi ciri khas arsitektur Moor yang akan mempengaruhi seni bangunan selama berabad-abad.

Pertanian dan Budaya

Abdurrahman Ad-Dakhil juga seorang yang memiliki kepekaan terhadap keindahan alam. Konon, ia membawa sebatang pohon kurma dari Suriah dan menanamnya di taman istananya di Cordoba sebagai pengingat akan tanah airnya yang hilang. Pohon ini menjadi simbol nostalgia sekaligus cikal bakal perkebunan kurma di Spanyol. Ia memperkenalkan berbagai tanaman baru dari dunia Islam, merevitalisasi pertanian melalui sistem irigasi Romawi yang telah ada.

Administrasi Negara

Abdurrahman Ad-Dakhil mereformasi administrasi pemerintahan, menciptakan birokrasi yang efisien, dan membangun sistem peradilan yang adil. Ia berhasil menciptakan negara yang terpusat dan kuat dari wilayah yang sebelumnya terpecah-belah dan anarkis. Ia memerintah sebagai Amir, secara teknis masih mengakui otoritas spiritual Khalifah Abbasiyah (meski menolak otoritas politiknya), sebuah langkah pragmatis untuk menghindari perpecahan lebih lanjut di dunia Islam. Baru pada masa keturunannya, Abdurrahman III, penguasa Cordoba akan mengambil gelar Khalifah.

Penutup: Dari Tragedi Menuju Kemenangan

Abdurrahman Ad-Dakhil wafat pada tahun 788 M. Ia dimakamkan di Cordoba, kota yang ia bangun dari puing-puing konflik. Perjalanannya adalah salah satu kisah comeback terbesar dalam sejarah. Dari seorang pemuda yang kehilangan segalanya (keluarga, status, dan tanah air) ia berhasil, melalui keberanian, ketangguhan, dan kecerdasan politik yang luar biasa, untuk mendirikan sebuah dinasti yang bertahan selama hampir 300 tahun.

Keamiran, dan kemudian Kekhalifahan Cordoba, menjadi pusat pembelajaran, ilmu pengetahuan, seni, dan toleransi di saat sebagian besar Eropa masih berada dalam Abad Kegelapan. Semua itu dimulai dari langkah pertama seorang pangeran buronan di tepi Sungai Eufrat, yang menolak untuk menyerah pada takdir dan memilih untuk menempa nasibnya sendiri. Kisah Abdurrahman Ad-Dakhil adalah bukti nyata bahwa bahkan dalam keputusasaan yang paling kelam sekalipun, visi dan tekad seorang individu dapat mengubah jalannya sejarah.

Bibliografi

Andriya, M., Iriani, U., & Roza, E. (2025). Kepemimpinan Abdurrahman Ad – Dakhil dalam Mengibarkan Bendera Dinasti Umawiyah di Andalusia. Mimbar Kampus: Jurnal Pendidikan dan Agama Islam, 24(1), 116-127.

As-Sirjani, R. (2013). Bangkit dan Runtuhnya Andalusia. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Borrut, A., & Cobb, P. M. (Eds.). (2010). Umayyad Legacies: Medieval Memories from Syria to Spain. Leiden: Brill.

Khair, A. A., Fahira, J., & Rama, B. (2024). Abdurrahman Ad-Dakhil dan Thariq bin Ziyad: Kebijakan Politiknya Serta Khalifah yang Berpengaruh di Andalusia. ULIL ALBAB: Jurnal Ilmiah Multidisiplin, 4(1), 23-32.

Nasution, S. (2019). Sejarah Peradaban Islam. Depok: Rajawali Pers.

Baca juga: Di Balik Julukan “Al-Qanuni”: Bagaimana Sulaiman Mereformasi Sistem Hukum Kesultanan Utsmaniyah

Loading

Tagged:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *