Home / Sejarah Dunia / Black Death: Malapetaka Global Pada Abad Pertengahan yang Mengubah Wajah Eropa

Black Death: Malapetaka Global Pada Abad Pertengahan yang Mengubah Wajah Eropa

Bayangkan sebuah penyakit misterius yang menyapu bersih sepertiga hingga separuh populasi benua hanya dalam beberapa tahun. Wabah yang begitu dahsyat hingga mengubah tatanan sosial, ekonomi, politik, bahkan cara pandang manusia terhadap kehidupan dan kematian. Itulah Black Death, sebuah malapetaka biomedis terbesar dalam sejarah Eropa, bahkan mungkin dunia. Terjadi pada pertengahan abad ke-14 (1347-1351/1352), wabah ini meninggalkan jejak kehancuran yang tak terbayangkan , namun di balik kengeriannya, ia turut membentuk wajah Eropa modern yang kita kenal hari ini. Mari kita telusuri sejarah kelam namun penting ini.

Apa Sebenarnya Black Death?

Black Death bukanlah satu penyakit tunggal, meskipun penyebab utamanya kini diyakini adalah bakteri Yersinia pestis. Bakteri ini biasanya hidup pada kutu yang menumpang pada hewan pengerat, terutama tikus hitam (Rattus rattus) yang banyak berkeliaran di pemukiman dan kapal dagang abad pertengahan. Wabah ini muncul dalam tiga bentuk utama:

  1. Pes Bubonik (Bubonic Plague): Bentuk paling umum. Gejalanya termasuk demam tinggi , muntah (kadang disertai darah) , dan yang paling khas adalah munculnya pembengkakan kelenjar getah bening (disebut buboes atau gavocciolos) di area selangkangan, ketiak, atau leher. Buboes ini bisa membesar seukuran apel atau telur , menghitam karena nekrosis jaringan , dan terasa sangat menyakitkan. Tingkat kematiannya sangat tinggi, sekitar 50% hingga 80% jika tidak ditangani , dengan kematian biasanya terjadi dalam 2 hingga 7 hari setelah gejala muncul.
  2. Pes Pneumonik (Pneumonic Plague): Menyerang sistem pernapasan. Ditularkan melalui udara dari batuk penderita. Gejalanya termasuk demam tinggi dan batuk darah. Bentuk ini hampir selalu fatal , dengan tingkat kematian mendekati 100%.
  3. Pes Septisemik (Septicemic Plague): Infeksi langsung pada aliran darah. Bisa berkembang dari pes bubonik atau pneumonik, atau infeksi langsung ke darah. Menyebabkan pembekuan darah internal, pendarahan tak terkontrol, dan menghitamnya kulit karena kematian jaringan (iskemik nekrosis). Tingkat kematiannya juga mendekati 100% jika tidak diobati.

Kombinasi ketiga bentuk pes inilah yang menciptakan badai kematian sempurna pada abad ke-14.

Jejak Maut: Asal Usul dan Penyebaran

Mayoritas sejarawan setuju bahwa Black Death berasal dari padang stepa Asia Tengah, kemungkinan di wilayah Mongolia atau Tiongkok Barat. Catatan Tiongkok menyebutkan adanya wabah besar sekitar satu dekade sebelum mencapai Eropa. Dari sana, penyakit ini menyebar melalui Jalur Sutra , dibawa oleh para pedagang dan, ironisnya, oleh pasukan Mongol yang sedang berekspansi ke barat.

Salah satu insiden paling terkenal terjadi pada tahun 1347 di Kaffa (sekarang Feodosia), sebuah kota pelabuhan penting di Krimea yang dikuasai oleh pedagang Genoa. Ketika pasukan Mongol di bawah Jani Beg mengepung kota tersebut, wabah menyerang pasukan mereka. Dalam salah satu contoh awal perang biologis, pasukan Mongol dilaporkan melontarkan mayat-mayat yang terinfeksi ke dalam kota Kaffa menggunakan katapel. Para pedagang Genoa yang ketakutan melarikan diri dengan kapal, tanpa sadar membawa serta “penumpang gelap” berupa tikus-tikus yang terinfeksi.

Kapal-kapal inilah yang menjadi “kurir” maut ke Eropa. Pada Oktober 1347, kapal-kapal Genoa tiba di Messina, Sisilia , membawa penyakit yang dengan cepat menyebar ke seluruh pulau. Awal 1348, wabah mencapai kota-kota pelabuhan utama Italia seperti Genoa, Venesia , dan Pisa , lalu dengan cepat merambat ke Prancis (Marseilles, Januari 1348) , Spanyol, Portugal, dan Inggris (Juni 1348). Pada 1349, wabah sudah mencapai Jerman, Skandinavia (termasuk Islandia) , dan pada 1351 tiba di Rusia. Penyakit ini juga menyebar ke selatan, mencapai Alexandria di Mesir sekitar waktu yang sama saat tiba di Sisilia , lalu merambat ke Timur Tengah, termasuk kota-kota suci seperti Mekkah dan Yerusalem. Hanya beberapa daerah terpencil dengan sedikit interaksi dagang, seperti sebagian Polandia dan wilayah Basque, yang relatif terhindar.

Kecepatan penyebarannya sungguh mencengangkan, dibantu oleh jaringan perdagangan maritim dan darat yang ekstensif, serta kondisi sanitasi yang buruk di kota-kota abad pertengahan.

Hidup di Bawah Bayang-Bayang Maut

Kehidupan selama Black Death adalah mimpi buruk. Ketakutan dan kepanikan merajalela. Orang-orang kaya dan sehat melarikan diri dari kota ke pedesaan , seringkali justru menyebarkan penyakit lebih jauh. Ikatan sosial runtuh. Giovanni Boccaccio, dalam mahakaryanya The Decameron, menggambarkan bagaimana orang tua meninggalkan anak mereka yang sakit, suami meninggalkan istri, dan saudara meninggalkan saudara.

Jumlah kematian begitu besar hingga ritual pemakaman normal menjadi mustahil. Mayat-mayat dibiarkan membusuk di jalanan atau di dalam rumah. Untuk mengatasinya, digalilah parit-parit besar sebagai kuburan massal, tempat ratusan mayat ditumpuk berlapis-lapis seperti barang dagangan di kapal. Bau busuk mayat memenuhi udara kota. Di beberapa tempat, saking banyaknya mayat dan sedikitnya orang yang tersisa untuk menguburkan, anjing-anjing liar sampai menyeret dan memakan jenazah. Rasa putus asa begitu mendalam hingga banyak yang percaya kiamat telah tiba.

Mencari Jawaban: Teori dan Respons Abad Pertengahan

Dalam ketidaktahuan, masyarakat abad pertengahan mencari penjelasan atas bencana ini. Teori yang paling umum adalah bahwa wabah merupakan hukuman dari Tuhan atas dosa-dosa manusia. Yang lain menyalahkan “udara buruk” atau miasma, yang dipercaya berasal dari pembusukan materi organik atau pengaruh astrologi yang tidak menguntungkan. Sebuah komite fakultas kedokteran Universitas Paris bahkan secara resmi menyatakan penyebabnya adalah konjungsi tiga planet (Saturnus, Jupiter, Mars) pada tahun 1345. Ada pula yang mengaitkannya dengan gempa bumi, banjir , atau bahkan makhluk-makhluk aneh seperti ular dan naga.

Pengobatan yang ada sama sekali tidak efektif. Dokter abad pertengahan, yang masih berpegang pada teori humoral Galen (keseimbangan cairan tubuh) , mencoba praktik seperti bloodletting (mengeluarkan darah) atau memberikan ramuan herbal dan obat-obatan aneh, termasuk yang terbuat dari kotoran hewan atau bagian tubuh ular (theriac). Bunga atau rempah-rempah dibawa-bawa dan dicium untuk menangkal “udara buruk”.

Upaya pengendalian penyakit lebih berupa tindakan putus asa. Beberapa kota mencoba menerapkan karantina , melarang orang asing masuk atau membatasi pergerakan warga. Pembuangan mayat secara massal, meskipun mengerikan, adalah upaya sanitasi darurat. Dokter wabah (plague doctors), meskipun seringkali tidak memiliki kualifikasi medis , dipekerjakan oleh kota untuk merawat orang sakit (kaya dan miskin) , mencatat kematian , dan menyaksikan surat wasiat , menunjukkan betapa pentingnya upaya (meskipun sia-sia) untuk mengendalikan dampak ekonomi dan sosial wabah.

Mencari Kambing Hitam: Penganiayaan dan Histeria

Dalam suasana ketakutan dan ketidakpastian, manusia cenderung mencari kambing hitam. Komunitas Yahudi di Eropa menjadi target utama. Mereka dituduh secara keliru telah meracuni sumur-sumur untuk menyebarkan wabah. Meskipun komunitas Yahudi juga menderita akibat wabah (walaupun mungkin tingkat kematian sedikit lebih rendah karena praktik kebersihan yang lebih baik dan isolasi di ghetto) , tuduhan ini menyebar cepat, dipicu oleh prasangka anti-Semit yang sudah mengakar.

Pembantaian brutal terjadi di seluruh Eropa, terutama di Prancis dan wilayah Kekaisaran Romawi Suci (Jerman). Ratusan komunitas Yahudi dihancurkan. Di Strasbourg, ribuan orang Yahudi dibakar hidup-hidup pada Februari 1349, bahkan sebelum wabah mencapai kota itu. Di Mainz dan Cologne, komunitas Yahudi dimusnahkan. Paus Klemens VI mengeluarkan dekrit yang mengutuk kekerasan ini dan menyatakan orang Yahudi tidak bersalah, namun seringkali tidak digubris. Penguasa sekuler terkadang justru mengambil keuntungan dengan menyita properti milik orang Yahudi yang terbunuh. Penganiayaan ini mendorong migrasi besar-besaran orang Yahudi Ashkenazi ke arah timur, terutama ke Polandia dan Rusia, yang membentuk lanskap demografi Yahudi Eropa selama berabad-abad kemudian.

Selain Yahudi, kelompok lain seperti pengemis, orang asing, dan penderita kusta juga terkadang dicurigai dan dianiaya. Muncul pula gerakan keagamaan ekstrem seperti Flagellants, kelompok orang yang mencambuk diri mereka sendiri di depan umum sebagai bentuk penebusan dosa, berharap dapat meredakan murka Tuhan. Meskipun awalnya populer, gerakan ini kemudian dianggap sesat oleh Gereja.

Dunia yang Berubah: Konsekuensi Jangka Panjang

Black Death bukan sekadar tragedi kemanusiaan berskala masif; ia adalah titik balik sejarah. Dampaknya terasa di setiap aspek kehidupan Eropa:

  1. Demografi: Eropa kehilangan antara 30% hingga 60% populasinya. Diperkirakan sekitar 20 hingga 25 juta orang tewas hanya dalam beberapa tahun pertama. Butuh waktu sekitar 150-200 tahun bagi populasi Eropa untuk kembali ke level sebelum wabah. Kehilangan populasi sebesar ini menciptakan kekosongan tenaga kerja yang dramatis.
  2. Ekonomi: Kekurangan tenaga kerja mengubah lanskap ekonomi secara fundamental. Para petani dan buruh yang selamat memiliki posisi tawar yang lebih kuat. Upah melonjak drastis , sementara harga sewa tanah dan harga bahan pangan (setelah panik awal mereda) cenderung turun karena permintaan berkurang. Sistem manor feodal yang bergantung pada tenaga kerja terikat (serf) mulai runtuh. Banyak bangsawan mencoba menekan upah melalui legislasi (seperti Statute of Labourers di Inggris) , yang memicu ketegangan sosial dan pemberontakan petani seperti Peasants’ Revolt di Inggris tahun 1381. Secara keseluruhan, terjadi redistribusi kekayaan, dengan petani yang lebih makmur (yeomen) mulai muncul.
  3. Sosial dan Budaya: Trauma kematian massal meninggalkan bekas mendalam pada psikologi kolektif. Seni dan sastra mulai diwarnai tema-tema kematian (memento mori, Danse Macabre). Namun, ada juga reaksi sebaliknya berupa semangat carpe diem (nikmati hari ini). Terjadi pergeseran dari idealisme religius pra-wabah ke arah realisme yang lebih kelam dalam seni. Otoritas Gereja Katolik, yang terbukti tidak mampu menjelaskan atau menghentikan wabah, mulai dipertanyakan , mungkin turut menabur benih Reformasi Protestan satu setengah abad kemudian. Terjadi “privatisasi” agama, dengan meningkatnya devosi pribadi dan pendirian kapel-kapel keluarga (chantries). Krisis tenaga kerja juga membuka peluang baru bagi perempuan, baik dalam pekerjaan maupun dalam pewarisan properti karena banyaknya laki-laki yang meninggal.
  4. Kedokteran dan Kesehatan Publik: Meskipun pemahaman medis saat itu terbatas, Black Death memicu beberapa perubahan. Konsep karantina mulai diterapkan lebih sistematis di beberapa kota pelabuhan. Pentingnya sanitasi, meskipun belum dipahami secara ilmiah, mulai disadari secara samar. Kegagalan pengobatan tradisional mungkin secara perlahan mendorong pencarian pendekatan baru dalam kedokteran di abad-abad berikutnya.

Kesimpulan

Black Death adalah pengingat mengerikan akan kerentanan manusia di hadapan penyakit menular. Wabah ini tidak hanya merenggut puluhan juta nyawa tetapi juga merombak struktur masyarakat Eropa Abad Pertengahan secara fundamental. Dari puing-puing kehancuran demografis dan krisis sosial-ekonomi, lahir tatanan baru yang berbeda: feodalisme melemah, mobilitas sosial meningkat, otoritas tradisional digugat, dan cara pandang manusia terhadap dunia mulai bergeser. Meskipun merupakan babak tergelap dalam sejarah Eropa, Black Death, secara paradoksal, turut membuka jalan menuju perubahan besar yang pada akhirnya melahirkan dunia modern. Mempelajarinya bukan hanya mengenang tragedi, tetapi juga memahami bagaimana bencana dapat memicu transformasi peradaban.

Bibliografi

Cantor, Norman F. In the Wake of the Plague: The Black Death & The World It Made. New York: The Free Press, 2001.

Deming, David. Science and Technology in World History, Vol. 3: The Black Death, The Renaissance, The Reformation and The Scientific Revolution. Jefferson, North Carolina: McFarland & Company, Inc., Publishers, 2012.

Freeman, Henry. The Black Death: A History From Beginning to End. Hourly History, 2016.

Sukmawati, Anggy Denok. “Wabah Penyakit Dari Masa Ke Masa: Respons Masyarakat Dan Perubahan Sosial-Budaya” (Tinjauan Buku: Epidemics and Society, from the Black Death to the Present oleh Frank M. Snowden). Jurnal Masyarakat Indonesia, Vol. 47 No. 1, 2021.


Baca juga artikel menarik lainnya: Dari Ladang ke Pabrik: Awal Revolusi Industri Inggris yang Mengguncang Peradaban Manusia

Loading

Tagged: