Home / Sejarah Dunia / Pertempuran Sekigahara: Satu Hari yang Mengakhiri Perang Saudara dan Membentuk Keshogunan Tokugawa

Pertempuran Sekigahara: Satu Hari yang Mengakhiri Perang Saudara dan Membentuk Keshogunan Tokugawa

Pada pagi hari yang basah dan berkabut tanggal 21 Oktober 1600, di sebuah lembah sempit di jantung Jepang, lebih dari 160.000 prajurit samurai bersiap untuk pertempuran yang akan menentukan nasib bangsa selama 250 tahun ke depan. Ini bukanlah sekadar pertempuran; ini adalah puncak dari intrik politik, pengkhianatan, dan ambisi yang telah membara selama bertahun-tahun. Di satu sisi berdiri Tokugawa Ieyasu, daimyo terkaya dan paling sabar di Jepang, seorang ahli strategi ulung yang menunggu saat yang tepat untuk merebut kekuasaan. Di sisi lain, Ishida Mitsunari, seorang birokrat yang setia pada mendiang penguasa Toyotomi Hideyoshi, tetapi tidak disukai oleh banyak jenderal prajurit karena kesombongannya. Pertempuran Sekigahara bukan hanya perang, tetapi sebuah pertaruhan tunggal yang akan mengakhiri era Sengoku dan melahirkan Keshogunan Tokugawa yang legendaris.

Latar Belakang: Retaknya Persatuan

Benih-benih konflik ditaburkan dengan kematian pemersatu besar kedua Jepang, Toyotomi Hideyoshi, pada tahun 1598. Untuk memastikan putranya yang baru berusia lima tahun, Hideyori, dapat mewarisi kekuasaannya, Hideyoshi membentuk Dewan Lima Bupati (Go-Tairo) yang terdiri dari para daimyo terkuatnya. Pemimpin dewan ini adalah Tokugawa Ieyasu, daimyo dari Jepang timur dengan kekayaan dan kekuatan militer yang tak tertandingi. Ieyasu tidak membuang waktu. Setelah kematian Hideyoshi, ia segera bergerak untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya. Ia secara terang-terangan melanggar dekrit Hideyoshi yang melarang pernikahan politik antar klan daimyo tanpa persetujuan dewan. Tindakannya ini, meskipun cerdas secara strategis, memicu kemarahan dari para loyalis Toyotomi.

Motor penggerak oposisi terhadap Ieyasu adalah Ishida Mitsunari. Mitsunari adalah seorang administrator yang cakap dan sangat setia kepada klan Toyotomi, tetapi ia naik ke tampuk kekuasaan melalui keterampilan sipilnya, bukan kecakapan militernya. Hal ini menyebabkan keretakan besar antara dirinya dan para jenderal prajurit kawakan seperti Kato Kiyomasa dan Fukushima Masanori, yang memandangnya sebagai “orang sipil yang ikut campur dalam urusan militer”. Ketidaksukaan mereka terhadap Mitsunari menjadi faktor krusial yang dimanfaatkan Ieyasu. Mitsunari, yang melihat Ieyasu sebagai perebut kekuasaan, berusaha menggalang para daimyo di bawah panji kesetiaan kepada Hideyori, sehingga memecah Jepang menjadi dua faksi: Pasukan Timur yang dipimpin oleh Tokugawa Ieyasu, dan Pasukan Barat yang dipimpin oleh Ishida Mitsunari.

Menuju Sekigahara: Permainan Strategi

Perang tak terelakkan dimulai dengan manuver cerdas dari kedua belah pihak. Ieyasu memancing Pasukan Barat dengan pura-pura memimpin kampanye ke utara untuk menyerang klan Uesugi, sekutu Mitsunari. Sesuai dugaan Ieyasu, Mitsunari melihat ini sebagai kesempatan emas. Ia segera mengumpulkan pasukan besar di sekitar Osaka dan Kyoto, menyatakan Ieyasu sebagai musuh negara.

Namun, Mitsunari membuat kesalahan perhitungan yang fatal. Kampanye pertamanya adalah mengepung Kastil Fushimi, yang dipertahankan mati-matian oleh punggawa setia Ieyasu, Torii Mototada. Meskipun Fushimi akhirnya jatuh, pengepungan selama sepuluh hari itu memberi Ieyasu waktu yang sangat berharga untuk memutar pasukannya dan menghadapi Pasukan Barat secara langsung. Pengorbanan Mototada, yang memilih untuk tewas bersama kastilnya daripada mundur, menjadi legenda kesetiaan samurai dan sebuah pukulan telak bagi momentum awal Pasukan Barat.

Menyadari bahwa Ieyasu sedang bergerak ke arahnya, Mitsunari memutuskan untuk mencegat Pasukan Timur di Sekigahara, sebuah lembah strategis yang berfungsi sebagai gerbang antara Jepang timur dan barat. Secara teori, posisinya sempurna. Pasukan Barat menguasai dataran tinggi di sekitar lembah, membentuk formasi tapal kuda (kakuyoku) yang dirancang untuk menjepit dan menghancurkan pasukan Ieyasu yang akan masuk ke dalam perangkap. Namun, Ieyasu memegang kartu truf yang tidak diketahui Mitsunari: pengkhianatan.

Satu Hari di Bulan Oktober: Pertempuran Dimulai

Pagi hari tanggal 21 Oktober 1600 disambut dengan hujan lebat dan kabut tebal yang menyelimuti lembah Sekigahara, mengurangi jarak pandang hingga hanya beberapa langkah. Ketika kabut perlahan terangkat sekitar pukul 8 pagi, kedua pasukan terkejut melihat betapa dekatnya posisi mereka satu sama lain.

Pertempuran meletus ketika unit elite Ieyasu yang dikenal sebagai “Setan Merah” di bawah komando Ii Naomasa, menyerbu barisan depan Pasukan Barat yang dipimpin oleh Ukita Hideie. Pertempuran berlangsung sengit dan brutal di atas tanah berlumpur. Tombak beradu, suara tembakan senapan matchlock memekakkan telinga, dan teriakan perang menggema di seluruh lembah. Selama hampir dua jam, pertempuran menemui jalan buntu. Pasukan Barat, dengan posisi yang lebih unggul, berhasil menahan gempuran Pasukan Timur. Ieyasu, yang mengamati dari markasnya, mulai merasa cemas.

Kunci pertempuran terletak pada seorang pemuda berusia 19 tahun: Kobayakawa Hideaki. Ia memimpin 15.600 prajurit di Gunung Matsuo, sebuah posisi krusial yang mengapit sayap kanan Pasukan Timur. Meskipun ia berada di pihak Barat, Hideaki menyimpan dendam terhadap Mitsunari dan telah secara diam-diam berkomunikasi dengan Ieyasu. Namun, di medan perang, ia ragu-ragu. Ia menunggu untuk melihat pihak mana yang akan menang sebelum mempertaruhkan pasukannya.

Melihat kebimbangan Hideaki, Ieyasu membuat langkah paling berani hari itu. Ia memerintahkan pasukan senapannya untuk menembaki posisi Kobayakawa di Gunung Matsuo. Tembakan ini bukan untuk menghancurkan, melainkan untuk mengirim pesan: “Pilih pihakmu, atau aku akan menghancurkanmu.” Guncangan itu berhasil. Terkejut dan tertekan, Hideaki akhirnya memberi perintah. Pukul 12:30 siang, pasukannya menyerbu menuruni gunung, tetapi bukan ke arah pasukan Ieyasu. Mereka berbalik dan menyerang sayap kanan Pasukan Barat yang dipimpin oleh Otani Yoshitsugu.

Otani Yoshitsugu, seorang jenderal yang dihormati meskipun menderita kusta parah, telah mengantisipasi pengkhianatan ini dan menyiapkan beberapa pasukannya untuk menghadap ke arah Kobayakawa. Namun, gempuran 15.600 prajurit yang segar terlalu dahsyat untuk ditahan. Pasukan Otani hancur, dan sang jenderal sendiri melakukan seppuku di medan perang.

Pengkhianatan Kobayakawa memicu efek domino. Para daimyo Barat lainnya yang juga ragu-ragu, seperti Wakisaka Yasuharu dan Ogawa Suketada, ikut berbalik menyerang rekan mereka sendiri. Di sisi lain lembah, di Gunung Nangu, 30.000 prajurit di bawah klan Mori tidak bergerak sama sekali, dinetralkan oleh Kikkawa Hiroie di garis depan mereka yang juga telah membuat kesepakatan rahasia dengan Ieyasu.

Garis pertahanan Pasukan Barat runtuh total. Salah satu momen paling heroik dalam kekalahan itu adalah mundurnya klan Shimazu. Terkepung, mereka tidak melarikan diri, melainkan menyerbu lurus ke depan, menembus jantung pasukan Tokugawa dalam sebuah serangan bunuh diri yang berani untuk membuka jalan pulang ke provinsi mereka di selatan. Menjelang pukul 2 siang, pertempuran telah berakhir. Ishida Mitsunari melarikan diri, hanya untuk ditangkap beberapa hari kemudian.

Dampak dan Warisan: Lahirnya Keshogunan

Kemenangan Ieyasu di Sekigahara bersifat mutlak. Dalam satu hari, ia telah melenyapkan semua oposisi militer yang signifikan terhadap kekuasaannya. Ishida Mitsunari, bersama dengan para pemimpin Pasukan Barat lainnya seperti Konishi Yukinaga dan Ankokuji Ekei, dieksekusi di Kyoto. Ieyasu kemudian secara sistematis menata ulang lanskap politik Jepang. Ia menyita tanah dari 90 klan daimyo yang menentangnya dan membagikannya kepada para jenderalnya yang setia.

Pada tahun 1603, Kaisar secara resmi menganugerahkan gelar Shogun kepada Tokugawa Ieyasu, memberinya legitimasi untuk memerintah seluruh Jepang. Ia kemudian menghabiskan sisa hidupnya untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya, yang mencapai puncaknya pada Pengepungan Osaka tahun 1615, di mana ia menghancurkan sisa-sisa klan Toyotomi dan membunuh Hideyori, memastikan tidak ada lagi ancaman bagi dinastinya.

Pertempuran Sekigahara adalah titik balik yang monumental dalam sejarah Jepang. Pertarungan brutal selama enam jam di sebuah lembah berkabut mengakhiri lebih dari satu abad perang saudara yang tiada henti. Kemenangan Tokugawa Ieyasu melahirkan Keshogunan Tokugawa, sebuah pemerintahan militer yang akan membawa Jepang ke dalam periode perdamaian dan isolasi selama lebih dari 250 tahun, sebuah warisan yang dibentuk oleh darah, strategi, dan pengkhianatan pada satu hari yang menentukan di bulan Oktober.

Bibliografi

Bohner, H. (t.t.). THE BATTLE OF SEKIGAHARA.

Charles River Editors. (t.t.). Sekigahara and Shiroyama: The History of the Battles that Unified and Modernized Japan.

Glenn, C. (2021). The Battle of Sekigahara: The Greatest, Bloodiest, Most Decisive Samurai Battle Ever. Frontline Books.

McAfee, A. (2017). Sekigahara: The Final Battle for Japan. Preprint.

Baca juga: Mamluk: Pasukan Budak yang Menjadi Sultan dan Mengalahkan Mongol di Ain Jalut

Loading

Tagged:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *