Di pertengahan abad ke-19, sebuah konflik kolosal meletus, menarik kekuatan-kekuatan besar Eropa ke dalam pusaran perang yang akan membentuk kembali peta politik benua. Dikenal sebagai Perang Krimea (1853-1856), konflik ini merupakan perang terbesar antara akhir Perang Napoleon pada tahun 1815 dan pecahnya Perang Dunia I pada tahun 1914. Perang ini menampilkan sebuah aliansi yang tampaknya mustahil: Kesultanan Utsmani yang Muslim, bersama dengan dua rival abadi, Inggris dan Prancis, bersatu melawan ambisi ekspansionis Kekaisaran Rusia. Pertarungan ini bukan sekadar perebutan wilayah; ia adalah benturan ideologi, geopolitik, dan ego para penguasa yang akibatnya terasa hingga puluhan tahun kemudian.
Akar Konflik: Ambisi Tsar dan “Orang Sakit Eropa”
Pemicu perang ini berakar pada menurunnya kekuatan Kekaisaran Utsmani, yang oleh Tsar Nicholas I dari Rusia dijuluki sebagai “Orang Sakit Eropa” (the Sick Man of Europe). Nicholas I, seorang otokrat yang percaya pada prinsip otokrasi, ortodoksi, dan “rusifikasi,” melihat kemunduran Utsmani sebagai peluang emas. Sejak abad ke-14, Rusia telah berekspansi tanpa henti, dan kini, mereka mengincar wilayah-wilayah Utsmani di Balkan dan akses tak terbatas ke Laut Mediterania melalui Laut Hitam.
Dalih utama Rusia adalah perlindungan terhadap 12 juta penganut Kristen Ortodoks yang hidup di bawah kekuasaan Utsmani. Ini adalah manuver geopolitik cerdas yang memberi Rusia alasan untuk campur tangan dalam urusan internal Utsmani. Namun, Prancis, di bawah kepemimpinan Napoleon III, juga memiliki ambisi. Berusaha mengembalikan kejayaan Prancis dan mendapat dukungan dari hierarki Katolik Roma di dalam negeri, Napoleon III menekan Sultan Utsmani untuk memberikan hak-hak istimewa kepada umat Katolik di Tanah Suci (Palestina), yang saat itu merupakan bagian dari wilayah Utsmani.
Langkah Prancis ini memicu kemarahan Rusia, yang melihatnya sebagai ancaman terhadap status mereka sebagai pelindung utama umat Kristen di wilayah tersebut. Pada musim semi 1853, Tsar Nicholas mengirim utusannya, Pangeran Menshikov (seorang tentara veteran, bukan diplomat) ke Konstantinopel. Menshikov datang dengan ultimatum: berikan Rusia hak resmi untuk melindungi semua subdjek Kristen Utsmani atau hadapi perang.
Sultan Utsmani, didorong oleh dukungan diplomatik dari Duta Besar Inggris yang berpengaruh, Lord Stratford de Redcliffe, dan unjuk kekuatan armada Prancis yang berlayar ke perairan Utsmani, menolak tuntutan Rusia. Akibatnya, pada Juli 1853, pasukan Rusia menduduki wilayah Utsmani di Moldavia dan Wallachia (sekarang Rumania), memicu eskalasi konflik.
Eskalasi Menuju Perang Eropa
Meskipun invasi telah terjadi, kekuatan Eropa lainnya (Inggris, Prancis, Austria, dan Prusia) awalnya mencoba mencari solusi diplomatik. Mereka menyusun “Vienna Note,” yang akan memberikan konsesi kepada Rusia mengenai perlindungan umat Kristen, tetapi Turki menolaknya. Tanpa ragu, pada 4 Oktober 1853, Utsmani mengeluarkan ultimatumnya sendiri kepada Rusia untuk menarik pasukannya, dan perang pun tak terhindarkan.
Titik balik yang mengubah konflik regional ini menjadi perang Eropa terjadi pada 30 November 1853 di pelabuhan Sinope di Laut Hitam. Armada Rusia secara brutal menghancurkan sebagian besar armada Turki, menewaskan ribuan pelaut. Untuk pertama kalinya dalam peperangan laut, Rusia menggunakan peluru peledak, yang menciptakan kerusakan masif pada kapal-kapal kayu Utsmani. Berita tentang “Pembantaian Sinope” ini menggemparkan London dan Paris.
Di Inggris, opini publik berbalik tajam menentang Rusia. Lord Palmerston, seorang liberal yang agresif dan anti-Rusia, mengundurkan diri dari kabinet Perdana Menteri Lord Aberdeen yang pro-perdamaian, sebuah langkah taktis yang memaksakan perubahan kebijakan. Tekanan publik dan politik menjadi terlalu besar. Inggris, yang khawatir akan dominasi angkatan laut Rusia di Laut Hitam dan ancamannya terhadap rute laut vital ke India, akhirnya memutuskan untuk bertindak.
Pada akhir Maret 1854, Inggris dan Prancis, dua musuh bebuyutan selama berabad-abad, secara resmi menyatakan perang terhadap Rusia. Jadilah sebuah aliansi aneh terbentuk: Inggris yang Protestan dan Prancis yang Katolik berjuang untuk mempertahankan Kekaisaran Utsmani yang Muslim dari serangan Rusia yang Kristen Ortodoks. Tujuan mereka beragam: Inggris ingin menghancurkan kekuatan angkatan laut Rusia, sementara kaum liberal di Inggris dan Napoleon III di Prancis memiliki visi yang lebih besar untuk memundurkan ekspansi Rusia dan menyebarkan pemerintahan konstitusional.
Dari Varna ke Semenanjung Krimea
Pasukan sekutu pertama kali mendarat di Varna, Bulgaria, pada musim panas 1854, bersiap untuk membantu Utsmani. Namun, mereka dihadang oleh masalah logistik dan wabah kolera yang mematikan, yang menewaskan ribuan tentara Prancis dan Inggris bahkan sebelum mereka bertemu musuh. Ironisnya, ancaman kehadiran pasukan multinasional ini, ditambah dengan tekanan dari Austria, sudah cukup untuk memaksa Tsar Nicholas menarik pasukannya dari Balkan.
Secara teknis, tujuan awal perang telah tercapai. Namun, momentum perang sudah terlalu besar untuk dihentikan. Para politisi di London dan Paris, didukung oleh opini publik yang haus akan kemenangan, memutuskan untuk melanjutkan perang dengan tujuan yang lebih ambisius: menghancurkan sumber kekuatan Rusia di Laut Hitam, yaitu pangkalan angkatan lautnya yang megah di Sevastopol, di Semenanjung Krimea.
Maka, pada September 1854, armada raksasa yang terdiri dari lebih dari 300 kapal mengangkut 61.000 tentara sekutu (Inggris, Prancis, dan Utsmani) dan mendarat tanpa perlawanan di Krimea. Ini adalah invasi besar-besaran, sebuah operasi amfibi yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam skala sebesar itu.
Pertempuran Alma dan Keunggulan Senapan Minié
Rintangan pertama Sekutu adalah Sungai Alma, di mana Pangeran Menshikov telah menyiapkan posisi pertahanan yang kuat di atas ketinggian. Pada 20 September 1854, pertempuran besar pertama di Krimea pun terjadi. Pertempuran Alma menjadi demonstrasi brutal dari keunggulan teknologi senjata Sekutu.
Kunci kemenangan mereka adalah senapan Minié. Senapan baru buatan Prancis ini, yang telah diadopsi secara massal oleh infanteri Inggris, memiliki jangkauan dan akurasi yang jauh melampaui senapan smoothbore (laras licin) usang yang digunakan oleh sebagian besar pasukan Rusia. Senapan Minié mampu membunuh dari jarak 600 yard atau lebih, sementara senapan Rusia hanya efektif hingga sekitar 300 yard.
Dalam pertempuran, infanteri Inggris, yang bertempur dalam formasi garis tipis dua baris, mampu menghujani kolom-kolom infanteri Rusia yang padat dengan tembakan mematikan dari jarak yang aman. Para prajurit Rusia, yang dilatih untuk bertarung dalam formasi bayonet massal, menjadi sasaran empuk. Jenderal Totleben dari Rusia kemudian menulis bahwa pasukannya “dihujani peluru” dan menderita kerugian besar bahkan sebelum mereka bisa mencapai musuh.
Di Pertempuran Alma, pasukan Prancis berhasil memanjat tebing curam yang dianggap tidak bisa dilewati oleh Rusia, sementara infanteri Inggris, meskipun sempat kacau, berhasil mengusir pasukan Rusia dari posisi pertahanan mereka. Kemenangan di Alma membuka jalan menuju Sevastopol, tetapi Sekutu bergerak lambat, memberi Rusia waktu berharga untuk memperkuat pertahanan kota.
Pengepungan Sevastopol dan Serangan Balaclava yang Terkenal
Sekutu tidak langsung menyerang Sevastopol. Sebaliknya, mereka bergerak ke selatan kota dan memulai pengepungan yang panjang dan melelahkan. Pengepungan ini akan berlangsung selama 11 bulan dan menjadi pusat dari seluruh perang.
Pada 25 Oktober 1854, Rusia melancarkan serangan besar untuk memutus jalur pasokan Inggris di pelabuhan Balaclava. Pertempuran Balaclava menjadi salah satu pertempuran paling ikonik dalam sejarah militer Inggris, bukan karena signifikansi strategisnya, tetapi karena dua aksi kavaleri yang legendaris. Pertama adalah “Garis Merah Tipis” (Thin Red Line), di mana Resimen Highlander ke-93, yang hanya berbaris dua lapis, berhasil mematahkan serangan kavaleri Rusia yang jauh lebih besar dengan tembakan senapan Minié mereka yang disiplin. Aksi ini sekali lagi membuktikan keusangan taktik kavaleri tradisional dalam menghadapi senjata api modern.
Namun, yang paling terkenal adalah “Serangan Brigade Ringan” (Charge of the Light Brigade). Akibat serangkaian perintah yang salah dipahami dan komunikasi yang buruk antara komandan senior, Brigade Kavaleri Ringan Inggris yang berjumlah sekitar 660 orang diperintahkan untuk menyerang posisi artileri Rusia yang sangat kuat di ujung sebuah lembah. Dengan gagah berani, mereka menyerbu ke dalam “lembah kematian,” dihujani tembakan dari tiga sisi. Serangan itu adalah sebuah bencana militer, sebuah kesia-siaan yang heroik yang menelan banyak korban jiwa, meskipun tidak sebesar yang sering digambarkan. Peristiwa ini diabadikan dalam puisi terkenal Alfred, Lord Tennyson, dan menjadi simbol keberanian buta sekaligus ketidakbecusan kepemimpinan militer.
Musim Dingin yang Mengerikan dan Kejatuhan Sevastopol
Musim dingin 1854-1855 menjadi musuh yang lebih mematikan daripada tentara Rusia. Pasukan Sekutu, terutama Inggris, sama sekali tidak siap menghadapi musim dingin Krimea yang brutal. Badai dahsyat pada November 1854 menghancurkan kapal-kapal pemasok, menenggelamkan kargo pakaian musim dingin dan pasokan medis yang sangat dibutuhkan.
Jalur pasokan dari Balaclava ke garis depan berubah menjadi lautan lumpur yang tidak bisa dilewati. Para prajurit di parit-parit hidup dalam kondisi yang menyedihkan, menderita kelaparan, radang dingin, dan penyakit seperti kolera, disentri, dan tifus yang merajalela. Kematian akibat penyakit jauh melampaui kematian di medan perang; dari sekitar 22.000 tentara Inggris yang tewas dalam perang, lebih dari 16.000 meninggal karena penyakit. Ini adalah periode penderitaan luar biasa yang mengekspos kegagalan total sistem logistik dan medis Angkatan Darat Inggris. Di sinilah peran Florence Nightingale dan tim perawatnya di rumah sakit Scutari menjadi sangat penting, meletakkan dasar bagi reformasi keperawatan modern.
Pengepungan berlanjut hingga musim semi dan panas 1855. Setelah serangkaian pertempuran sengit dan bombardir artileri tanpa henti, serangan terakhir dilancarkan pada 8 September 1855. Pasukan Prancis berhasil merebut Benteng Malakoff, posisi kunci dalam pertahanan Sevastopol. Meskipun serangan Inggris ke Benteng Redan gagal, jatuhnya Malakoff membuat posisi Rusia tidak dapat dipertahankan lagi. Malam itu, pasukan Rusia meninggalkan kota yang telah hancur lebur. Pengepungan Sevastopol akhirnya berakhir.
Akhir Perang dan Warisannya
Kejatuhan Sevastopol adalah pukulan telak bagi Rusia. Tsar Nicholas I telah meninggal pada Maret 1855, sebagian karena putus asa atas kegagalan perangnya. Penggantinya, Alexander II, lebih bersedia untuk berdamai. Perang secara resmi berakhir dengan penandatanganan Traktat Paris pada 30 Maret 1856. Rusia dipaksa menerima syarat-syarat yang memalukan. Laut Hitam dinyatakan sebagai zona netral, tertutup untuk semua kapal perang, dan Rusia dilarang membangun benteng atau pangkalan angkatan laut di pesisirnya. Integritas teritorial Kekaisaran Utsmani dijamin oleh kekuatan-kekuatan besar.
Meskipun Sekutu menang, Perang Krimea adalah konflik yang mahal dan brutal dengan hasil yang ambigu. Perang ini tidak menghancurkan Rusia, tetapi mengungkap kelemahan internalnya dan memicu reformasi besar-besaran, termasuk emansipasi para budak pada tahun 1861 oleh Tsar Alexander II. Bagi Inggris dan Prancis, perang ini menunjukkan perlunya modernisasi militer dan medis.
Secara geopolitik, perang ini menghancurkan “Konser Eropa” yang telah menjaga perdamaian (secara relatif) sejak era Napoleon. Perang ini mengasingkan Rusia dari Eropa, membuat Austria menjadi terisolasi secara diplomatis, dan membuka jalan bagi penyatuan Italia dan Jerman. Perang Krimea adalah perang modern pertama: perang yang disaksikan oleh koresponden surat kabar, didokumentasikan dengan fotografi, dan menunjukkan kekuatan destruktif dari persenjataan industri. Ia adalah pertanda dari konflik-konflik yang jauh lebih besar yang akan datang, sebuah pengingat brutal bahwa aliansi dapat berubah dan bahwa ambisi kekaisaran sering kali harus dibayar dengan harga yang sangat mahal.
Bibliografi
Hourly History. (2020). Crimean War: A History from Beginning to End. Hourly History.
Hourly History. (2023). Russian History Soviet Union, Russian Civil War, Russian Empire, Russian Revolution, Crimean War. Hourly History.
Small, H. (2018). The Crimean War: Europe’s Conflict with Russia. The History Press.
Weaver, Stephan. (2015). The History of Russia in 50 Events. Stephan Weaver.
Baca juga: Dari Stepa ke Jantung Baghdad: Kisah Dinasti Seljuk, Pengembara yang Menjadi Pelindung Khilafah