Home / Perang & Ekspansi Islam / Kegagalan yang Menjadi Pelajaran: Dua Upaya Mahal Daulah Umayyah Merebut Konstantinopel

Kegagalan yang Menjadi Pelajaran: Dua Upaya Mahal Daulah Umayyah Merebut Konstantinopel

Pada puncak kekuasaannya di akhir abad ke-7 dan awal abad ke-8, Daulah Umayyah adalah sebuah imperium yang seolah tak terhentikan. Dari perbatasan India di timur hingga Pegunungan Pyrenees di Spanyol, panji-panji Islam berkibar gagah. Para khalifah di Damaskus memimpin sebuah mesin militer dan administrasi yang paling canggih di zamannya. Namun, di tengah semua penaklukan gemilang itu, ada satu kota yang menjadi obsesi, sebuah permata yang tak kunjung bisa digapai: Konstantinopel.

Dijuluki “Ratu Segala Kota” (Queen of Cities), Konstantinopel bukan sekadar ibu kota Kekaisaran Romawi Timur atau Bizantium. Ia adalah simbol supremasi Kristen, pusat perdagangan dunia, dan sebuah benteng yang dianggap mustahil ditembus. Bagi para khalifah Umayyah, menaklukkan kota ini akan menjadi puncak kejayaan, sebuah legitimasi tertinggi atas kekuasaan mereka sekaligus pembuktian atas sebuah nubuat yang diyakini berasal dari masa Nabi.

Dengan ambisi membara, Daulah Umayyah melancarkan dua kali upaya pengepungan kolosal untuk merebut kota legendaris ini. Keduanya mengerahkan sumber daya manusia dan material dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, keduanya berakhir dengan kegagalan yang sama-sama katastrofik. Kisah dua pengepungan ini bukan hanya cerita tentang perang, tetapi juga tentang batas ambisi, kejeniusan teknologi pertahanan, dan pelajaran mahal yang membentuk peta peradaban dunia.

Latar Belakang: Obsesi pada Sang Ratu Segala Kota

Mengapa Konstantinopel begitu penting? Ada tiga alasan utama.

Pertama, kepentingan strategis dan ekonomi. Terletak di selat Bosphorus yang memisahkan Eropa dan Asia, kota ini mengendalikan jalur perdagangan vital antara Laut Hitam dan Mediterania. Menguasainya berarti mengendalikan urat nadi ekonomi kawasan tersebut.

Kedua, signifikansi religius dan simbolis. Sebagai ibu kota Kekaisaran Romawi Kristen, Konstantinopel adalah saingan utama bagi status Damaskus sebagai pusat kekuatan dunia. Dalam paradigma Umayyah, penaklukannya akan membuktikan superioritas Islam atas Kristen. Beberapa tradisi hadis juga menyebutkan tentang keutamaan tentara yang pertama kali menyerang kota ini, yang menjadi motivasi spiritual yang kuat bagi para prajurit Muslim.

Ketiga, keamanan perbatasan. Selama Bizantium kuat, mereka terus-menerus menjadi “duri dalam daging” bagi perbatasan utara Daulah Umayyah di Anatolia (sekarang Turki). Serangan-serangan lintas batas dari pihak Bizantium menjadi ancaman permanen. Menaklukkan ibu kotanya adalah cara paling efektif untuk melumpuhkan ancaman ini untuk selamanya.

Upaya Pertama: Ambisi Mu’awiyah dan Teror Api Yunani (674–678 M)

Khalifah pertama Daulah Umayyah, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, adalah seorang negarawan ulung dengan visi strategis yang jauh ke depan. Ia sadar bahwa untuk mengamankan kekhalifahan, ancaman Bizantium harus dinetralisir di jantungnya. Ia membangun angkatan laut Muslim pertama yang tangguh, sebuah inovasi besar pada masanya, dengan tujuan utama membawa perang ke depan gerbang Konstantinopel.

Pada tahun 674 M, armada raksasa Umayyah berlayar menuju sasarannya. Namun, kampanye ini bukanlah pengepungan tunggal tanpa henti. Strategi yang diterapkan adalah blokade jangka panjang. Pasukan Umayyah mendirikan pangkalan musim dingin di semenanjung Cyzicus, tidak jauh dari Konstantinopel. Setiap musim semi, mereka akan berlayar untuk menyerang tembok laut kota dan memblokade perairannya, lalu kembali ke pangkalan saat musim dingin tiba.

Selama empat tahun, pola ini berulang. Para pembela kota, di bawah pimpinan Kaisar Konstantinus IV, berjuang mati-matian. Namun, faktor penentu kemenangan mereka bukanlah sekadar keberanian, melainkan sebuah senjata rahasia yang mengerikan: Api Yunani (Greek Fire).

Api Yunani adalah senyawa kimia cair misterius yang bisa disemprotkan dari kapal-kapal Bizantium. Keunggulannya yang paling menakutkan adalah kemampuannya untuk terus menyala bahkan di atas permukaan air. Bagi para pelaut Umayyah, ini adalah teror yang tak terbayangkan. Armada mereka, yang dibangun dengan biaya dan usaha luar biasa, dilalap api yang tak bisa dipadamkan. Kapal-kapal terbakar, dan para prajurit yang melompat ke laut pun disambut oleh lautan api.

Setelah menderita kerugian besar akibat Api Yunani dan serangan balasan Bizantium, armada Umayyah yang tersisa akhirnya memutuskan untuk mundur pada tahun 678 M. Dalam perjalanan pulang, sisa-sisa armada mereka dihantam badai dahsyat yang menyempurnakan kehancuran. Upaya pertama yang ambisius ini berakhir dengan kegagalan total. Bizantium selamat, dan Daulah Umayyah harus menelan pil pahit kekalahan pertamanya dalam skala sebesar itu.

Upaya Kedua: Pengepungan Kolosal Maslamah bin Abdul Malik (717–718 M)

Empat dekade berlalu. Daulah Umayyah telah mencapai puncak ekspansinya di bawah Khalifah Al-Walid I dan saudaranya, Sulaiman bin Abdul Malik. Kekalahan di masa lalu seolah terlupakan, dan mimpi menaklukkan Konstantinopel kembali dihidupkan dengan skala yang jauh lebih besar. Khalifah Sulaiman, yang memandang penaklukan ini sebagai takdir pribadinya, mempersiapkan sebuah ekspedisi yang akan membuat upaya pertama terlihat seperti latihan kecil.

Komando dipercayakan kepada salah satu jenderal terbaik dalam sejarah Islam, Maslamah bin Abdul Malik, saudara khalifah sendiri. Menurut sumber-sumber sejarah, kekuatan yang dikerahkannya sangat luar biasa: sekitar 120.000 prajurit darat dan laut, didukung oleh lebih dari 1.800 kapal. Ini adalah salah satu angkatan perang terbesar yang pernah dikumpulkan di era pramodern.

Di sisi lain, Konstantinopel berada dalam kekacauan internal. Namun, dari krisis itu muncullah seorang pemimpin yang cerdik dan tangguh, Leo III orang Isauria. Sebelum dinobatkan menjadi kaisar, Leo adalah seorang jenderal yang pernah berinteraksi dengan Maslamah. Dengan lihai, ia berhasil meyakinkan Maslamah bahwa ia akan membantu penyerahan kota jika Maslamah membantunya naik takhta. Tentu saja, ini hanyalah tipu muslihat. Begitu menjadi kaisar, Leo segera mempersiapkan pertahanan kota dengan sekuat tenaga.

Pada musim panas 717 M, pasukan Maslamah tiba. Pasukan darat mengepung Tembok Theodosian yang legendaris, sementara armada laut berusaha memblokade kota dari perairan. Namun, mereka langsung menghadapi tiga rintangan yang tak dapat diatasi.

1. Tembok Theodosian: Ini bukanlah sekadar tembok biasa. Tembok Theodosian adalah sistem pertahanan tiga lapis yang paling canggih di dunia saat itu. Terdiri dari parit besar, tembok luar yang lebih rendah, dan tembok dalam yang masif setinggi 12 meter dengan ratusan menara pengawas. Teknologi pengepungan Arab saat itu, seperti manjanik (ketapel raksasa), sama sekali tidak berdaya menghadapi benteng kolosal ini.

2. Api Yunani (Lagi): Leo III telah mempersiapkan senjata andalannya. Ketika armada Umayyah mencoba memasuki teluk Tanduk Emas (Golden Horn), mereka disambut oleh semburan Api Yunani. Seperti empat dekade sebelumnya, armada Arab kembali terbakar dan porak-poranda. Rantai besar yang dipasang Bizantium di mulut teluk juga secara efektif mengunci sisa armada musuh di luar.

3. Musim Dingin yang Brutal: Pengepungan berlanjut hingga musim dingin. Musim dingin tahun 717-718 tercatat sebagai salah satu yang paling kejam dalam sejarah. Salju tebal menutupi daratan selama berbulan-bulan. Pasukan Maslamah, yang berkemah di tempat terbuka, sama sekali tidak siap. Rantai pasokan mereka terputus, dan kelaparan mulai melanda. Kondisinya begitu mengerikan sehingga para prajurit terpaksa memakan kuda, unta, dan bahkan, menurut beberapa catatan, terjerumus dalam kanibalisme. Penyakit merajalela dan ribuan orang tewas bukan karena pedang, melainkan karena kedinginan dan kelaparan.

Sebagai pukulan terakhir, Kaisar Leo III menjalin aliansi dengan Bangsa Bulgar, suku petarung dari utara. Pada musim semi 718 M, pasukan Bulgar menyerang perkemahan Arab yang sudah lemah, membantai ribuan prajurit. Armada bantuan yang dikirim dari Mesir dan Afrika Utara juga berhasil dihancurkan oleh Api Yunani dan badai.

Pada Agustus 718 M, setelah tiga belas bulan pengepungan yang sia-sia dan mematikan, khalifah baru, Umar II, mengirim perintah untuk mundur. Dari lebih dari 120.000 prajurit, hanya sebagian kecil yang kembali dengan selamat. Dari 1.800 kapal, konon hanya lima yang berhasil mencapai Suriah. Bencana ini jauh lebih besar dan lebih memalukan daripada yang pertama.

Analisis Kegagalan dan Pelajaran Sejarah

Kegagalan dua pengepungan Konstantinopel oleh Daulah Umayyah disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor krusial:

  1. Keunggulan Teknologi Pertahanan: Tembok Theodosian dan Api Yunani adalah dua faktor yang tidak bisa diatasi oleh militer Umayyah. Keduanya memberikan keuntungan defensif yang luar biasa bagi Bizantium.
  2. Logistik yang Mustahil: Menopang pasukan sebesar itu selama lebih dari setahun, ribuan kilometer dari pusat kekuasaan, adalah mimpi buruk logistik yang menjadi kenyataan. Kegagalan memastikan jalur pasokan menjadi fatal.
  3. Kepemimpinan yang Cerdik: Kaisar Konstantinus IV dan terutama Leo III adalah pemimpin yang kompeten dan lihai. Diplomasi Leo III dengan bangsa Bulgar adalah langkah jenius yang mengubah jalannya perang.
  4. Arogansi dan Meremehkan Lawan: Terbuai oleh serangkaian kemenangan, para pemimpin Umayyah mungkin terlalu percaya diri dan meremehkan ketahanan Bizantium serta keganasan alam (musim dingin).

Dampak dari kegagalan kedua ini sangat mendalam. Bagi Daulah Umayyah, ini adalah pukulan telak yang menguras habis sumber daya finansial dan militer terbaik mereka. Banyak sejarawan berpendapat bahwa bencana ini menandai berakhirnya era ekspansi besar Umayyah dan menjadi salah satu faktor yang mempercepat keruntuhan mereka di tangan Revolusi Abbasiyah tiga dekade kemudian.

Bagi Eropa, keselamatan Konstantinopel pada tahun 718 M adalah salah satu momen paling menentukan dalam sejarah. Jika kota itu jatuh, tidak ada kekuatan signifikan yang bisa menghalangi laju pasukan Umayyah ke jantung Eropa dari arah tenggara. Bertahannya Konstantinopel sebagai “benteng Kristen” memberikan ruang bagi kerajaan-kerajaan di Eropa Barat untuk berkembang selama berabad-abad.

Pada akhirnya, kegagalan Umayyah merebut Konstantinopel adalah sebuah pelajaran pahit tentang batas kekuasaan. Ambisi, keberanian, dan keyakinan spiritual saja tidak cukup untuk menaklukkan benteng terbaik di dunia yang dipertahankan oleh pemimpin cerdas dan senjata superior. Mimpi menaklukkan Sang Ratu Segala Kota pada akhirnya memang terwujud, tetapi butuh waktu 700 tahun lagi, oleh kekuatan Muslim yang berbeda (Turki Utsmani), dengan teknologi yang sama sekali baru: meriam raksasa yang mampu meruntuhkan tembok yang bahkan tak bisa digores oleh pasukan Maslamah.

Bibliografi

Borrut, Antoine, and Paul M. Cobb, editors. Umayyad Legacies: Medieval Memories from Syria to Spain. Brill, 2010.

Charles River Editors. The Umayyad Caliphate: The History and Legacy of the Second Islamic Kingdom Established After Muhammad’s Death. Charles River Editors, 2017.

Khan, Abdul Zahoor, et al. “Historiography Of The Arab Muslim’s Barricade Of Constantinople: A Critical Appraisal.” Journal of the Research Society of Pakistan, vol. 57, no. 1, 2020.

Sheppard, Si. Constantinople AD 717–18: The Crucible of History. Osprey Publishing, 2018.

Turnbull, Stephen. The Walls of Constantinople AD 324–1453. Osprey Publishing, 2004.

Baca artikel menarik lainnya: Tonggak Sejarah Islam di Anak Benua Asia: Kisah Awal Mula Berdirinya Kesultanan Delhi

Loading

Tagged:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *