Home / Sejarah Indonesia / Demak: Kisah Kekuatan Politik Islam Pertama di Tanah Jawa

Demak: Kisah Kekuatan Politik Islam Pertama di Tanah Jawa

Di tengah senja kala kekuasaan Majapahit pada abad ke-15, sebuah kekuatan baru lahir di pesisir utara Jawa. Kekuatan itu adalah Kesultanan Demak Bintoro, kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang tidak hanya menjadi pusat penyebaran agama, tetapi juga kekuatan politik dan maritim yang disegani di Nusantara. Berdirinya Demak menandai babak baru dalam sejarah peradaban di tanah Jawa, sebuah transisi monumental dari era Hindu-Buddha menuju era Islam.

Awal Mula: Dari Hutan Glagahwangi ke Pusat Peradaban

Lahirnya Demak tidak dapat dipisahkan dari dua faktor utama: melemahnya Kerajaan Majapahit akibat konflik internal pasca Perang Paregreg (1401-1406) dan semakin menguatnya jaringan komunitas Muslim di wilayah pesisir. Di tengah situasi ini, muncullah sosok Raden Fatah.

Raden Fatah bukanlah sosok biasa. Ia adalah putra dari Prabu Kertabhumi (Brawijaya V), raja terakhir Majapahit, dari seorang istri selir bernama Siu Ban Ci, seorang Muslimah keturunan Tionghoa dari Campa (kini bagian dari Vietnam) yang dihadiahkan kepada adipati Palembang. Dengan demikian, dalam dirinya mengalir darah bangsawan Majapahit sekaligus identitas seorang Muslim. Dibesarkan di Palembang di bawah asuhan Adipati Arya Damar (atau Sapu Talang), Raden Fatah kemudian menimba ilmu agama secara mendalam kepada Sunan Ampel di Surabaya.

Atas dorongan dan petunjuk Sunan Ampel, pada sekitar tahun 1475 M, Raden Fatah bersama para pengikutnya membuka sebuah daerah hutan lebat yang dikenal sebagai Glagahwangi. Di sana, ia pertama-tama tidak mendirikan sebuah kerajaan, melainkan sebuah pondok pesantren. Pesantren Glagahwangi inilah yang menjadi cikal bakal denyut nadi kehidupan Demak. Tempat ini dengan cepat berkembang menjadi pusat pendidikan dan dakwah Islam, menarik banyak santri dari berbagai penjuru. Dari pusat keagamaan inilah, pengaruh Raden Fatah meluas hingga akhirnya ia dilantik menjadi Adipati Anom Bintoro pada tahun 1477 M.

Keruntuhan total Majapahit pada tahun 1478 M, yang diserang oleh Girindrawardhana dari Kediri, menjadi momentum bagi Demak untuk memantapkan posisinya. Setelah melalui serangkaian perjuangan politik dan militer, Raden Fatah akhirnya dinobatkan sebagai Sultan pertama Demak Bintoro pada sekitar tahun 1482 M.

Kekuatan Ganda: Sultan dan Walisongo

Keberhasilan Demak tidak hanya terletak pada kepemimpinan Raden Fatah, tetapi juga pada sinergi yang luar biasa dengan para Walisongo. Walisongo, yang secara harfiah berarti “sembilan wali”, adalah dewan ulama yang menjadi penasihat spiritual sekaligus politik bagi kesultanan. Mereka adalah arsitek utama penyebaran Islam di Jawa, yang metode dakwahnya begitu arif dan adaptif.

Para wali menyadari bahwa masyarakat Jawa pada saat itu telah memiliki tradisi Hindu-Buddha, animisme, dan dinamisme yang mengakar kuat. Alih-alih memberangus budaya lokal, mereka justru menggunakan pendekatan akulturasi yang damai. Islam diperkenalkan melalui media yang sudah akrab dengan masyarakat:

  • Kesenian Wayang: Sunan Kalijaga dikenal mahir menggunakan pertunjukan wayang kulit sebagai media dakwah. Ia menyisipkan ajaran moral, tauhid, dan akhlak mulia ke dalam cerita-cerita wayang. Bahkan, “tiket” untuk menyaksikan pertunjukannya adalah dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.
  • Arsitektur: Pembangunan Masjid Agung Demak menjadi bukti nyata perpaduan budaya. Atapnya yang berbentuk tumpang tiga merupakan adaptasi dari arsitektur pura Hindu, namun diberi makna baru sesuai ajaran Islam: Iman, Islam, dan Ihsan. Begitu pula dengan Masjid Menara Kudus yang dibangun oleh Sunan Kudus, menaranya memiliki corak bangunan Hindu yang kental sebagai bentuk penghormatan terhadap kepercayaan masyarakat setempat.
  • Tembang dan Gamelan: Sunan Bonang berdakwah melalui musik gamelan dan tembang-tembang (syair) ciptaannya yang berisi ajaran Islam, salah satunya yang sangat terkenal hingga kini adalah Tombo Ati.
  • Permainan Anak: Sunan Giri menciptakan berbagai permainan anak-anak seperti Jor, Gula Ganti, dan Cublak-Cublak Suweng yang di dalamnya terkandung nilai-nilai pendidikan Islam.

Pendekatan sosial budaya inilah yang membuat Islam dapat diterima secara luas tanpa menimbulkan konflik dan kekerasan.

Penguasa Lautan: Pangeran Sabrang Lor dan Armada Demak

Letak Demak di pesisir utara Jawa, yang pada masa itu merupakan selat yang memisahkan Pulau Jawa dengan Pegunungan Muria, menjadikannya sangat strategis untuk perdagangan maritim. Demak dengan cepat tumbuh menjadi pelabuhan dagang yang ramai, berfungsi sebagai penghubung antara daerah penghasil rempah-rempah di timur Nusantara dengan Malaka sebagai pasar utama di barat.

Puncak kekuatan maritim Demak terjadi pada masa pemerintahan putra Raden Fatah, Adipati Unus (memerintah 1518-1521). Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511 menjadi ancaman serius bagi jaringan perdagangan Muslim, termasuk Demak.

Pada usia yang sangat muda, yakni 17 tahun, Adipati Unus menunjukkan keberanian yang luar biasa. Pada tahun 1513, ia memimpin sebuah ekspedisi militer besar-besaran untuk menggempur Portugis di Malaka. Dengan kekuatan armada yang disebut mencapai 100 kapal jung dan ribuan prajurit, ia menyeberangi lautan untuk melawan penjajah Eropa.

Meskipun serangan ini pada akhirnya gagal karena keunggulan persenjataan dan strategi Portugis, keberanian Adipati Unus meninggalkan kesan yang mendalam. Ia adalah satu-satunya raja Demak yang berani memimpin langsung serangan maritim melawan penjajah. Atas aksi heroiknya ini, ia dianugerahi julukan Pangeran Sabrang Lor, yang berarti “Pangeran yang Menyeberang ke Utara”.

Masa Keemasan dan Pergeseran Kekuasaan

Masa kejayaan Kesultanan Demak dicapai pada masa pemerintahan Sultan Trenggana (1521-1546), adik dari Adipati Unus. Di bawah kepemimpinannya, wilayah kekuasaan Demak meluas hingga mencakup hampir seluruh Pulau Jawa, mulai dari Banten, Cirebon, hingga wilayah pedalaman di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Demak berhasil menaklukkan sisa-sisa kekuatan Majapahit dan mengonsolidasikan dirinya sebagai penguasa tunggal di Jawa. Fatahillah, seorang ulama terkemuka dari Samudera Pasai, menjadi panglima andalan Sultan Trenggana yang berhasil merebut Sunda Kelapa dari pengaruh Portugis pada tahun 1527 dan mengubah namanya menjadi Jayakarta.

Namun, kejayaan ini tidak berlangsung lama. Sultan Trenggana wafat pada tahun 1546 saat memimpin ekspedisi militer di Panarukan, Jawa Timur. Sepeninggalnya, pecah konflik perebutan takhta di antara para ahli warisnya. Putranya, Sunan Prawoto, yang menggantikannya, kemudian terbunuh. Isu yang berkembang menuding Arya Penangsang, sepupunya, sebagai dalang di balik pembunuhan tersebut sebagai aksi balas dendam. Konflik internal yang berlarut-larut ini akhirnya melemahkan Demak dari dalam dan menyebabkan pusat kekuasaan bergeser ke Pajang di bawah menantu Sultan Trenggana, Jaka Tingkir, yang bergelar Sultan Hadiwijaya.

Warisan Abadi Demak

Meskipun Kesultanan Demak Bintoro runtuh, warisannya tetap hidup dan terpatri kuat dalam peradaban Jawa dan Indonesia. Demak telah berhasil meletakkan fondasi Islam sebagai kekuatan politik, sosial, dan budaya yang dominan di Jawa. Masjid Agung Demak, dengan segala keunikan arsitektur dan filosofinya, masih berdiri kokoh sebagai pusat spiritual dan bukti kebesaran masa lampau.

Tradisi budaya seperti Grebeg Besar, yang semula diadakan untuk memperingati kemenangan pasukan Demak atas Girindrawardhana, terus dilestarikan sebagai perayaan tahunan yang meriah. Lebih dari itu, metode dakwah Walisongo yang mengedepankan kearifan lokal dan akulturasi budaya menjadi model penyebaran Islam yang damai dan terus relevan hingga hari ini. Demak Bintoro mungkin telah berakhir sebagai sebuah entitas politik, tetapi semangat dan warisannya sebagai matahari terbit Islam di tanah Jawa tak akan pernah padam.

Bibliografi

Afidah, Nur. (2021). Perkembangan Islam Pada Masa Kerajaan Demak. Jurnal Jasika 1.

Anastyapatika Sari, Linda, & Imawan, Dzulkifli Hadi. (2023). Kajian Historis Kerajaan Demak Bintoro. JAMBE: Jurnal Sejarah Peradaban Islam, 5(2), 44–54.

Kasri, Muhammad Khafid, & Semedi, Pujo. (2008). Sejarah Demak: Matahari Terbit di Glagahwangi. Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Demak.

Kasri, Nur Khamid. (2006). Sejarah Sultan Fattah: Pendiri Kasultanan Bintoro Demak. Cipta Adi Grafika.

Pianto, Heru Arif. (2017). Keraton Demak Bintoro Membangun Tradisi Islam Maritim di Nusantara. Sosiohumaniora: Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial Dan Humaniora, 3(1).

Putri, Zuliani. (2021). Sejarah Kesultanan Demak: Dari Raden Fatah Sampai Arya Penangsang.

Sunyoto, Agus. (2016a). Atlas Wali Songo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo sebagai Fakta Sejarah. Pustaka IIMaN.

Baca artikel menarik lainnya: Muhammad al-Idrisi: Sang Kartografer Muslim

Loading

Tagged:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *