Dalam lipatan sejarah peradaban Islam, muncul sosok-sosok pemimpin yang integritas dan dedikasinya menjadi suluh bagi generasi penerus. Di antara mereka, Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Dinasti Umayyah menonjol sebagai figur yang kerap dirindukan, seorang pemimpin yang berhasil memadukan kesalehan pribadi dengan kecakapan mengelola negara, meninggalkan warisan emas meski masa pemerintahannya terbilang singkat. Keadilan, kesederhanaan, dan fokus pada kesejahteraan rakyat menjadi ciri khas kepemimpinannya, menjadikannya model ideal pemimpin Muslim yang relevan sepanjang masa.
Mengenal Sang Khalifah: Latar Belakang dan Jalan Menuju Kepemimpinan
Lahir pada tahun 61 H (682 M) di Hulwan, sebuah desa di Mesir, saat ayahnya menjabat sebagai gubernur di sana, Umar bin Abdul Aziz memiliki nama lengkap Umar bin Abdul Aziz bin Marwan bin Al-Hakam. Dari garis ibu, Ummu ‘Ashim binti Ashim, ia adalah cicit dari Khalifah kedua, Umar bin Khaththab, sebuah nasab yang seolah menakdirkannya untuk mewarisi ketegasan dan keadilan sang kakek buyut. Meskipun dibesarkan dalam kemewahan lingkungan istana Dinasti Umayyah, dengan perkebunan yang menghasilkan puluhan ribu dinar per tahun, orang tuanya memastikan Umar mendapatkan pendidikan agama yang kuat. Sejak kecil, ia telah menghafal Al-Qur’an.
Titik balik penting dalam hidupnya terjadi ketika ayahnya mengirimnya ke Madinah untuk menuntut ilmu dari para ulama terkemuka seperti Ubaidillah bin Abdullah. Kota Nabi ini tidak hanya menempa kesalehannya dan menjauhkannya dari gaya hidup berfoya-foya, tetapi juga memberinya perspektif mendalam tentang prinsip-prinsip dasar peradaban Islam masa Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin. Kesalehannya tercermin dalam ibadahnya; Zaid bin Aslam pernah berkata bahwa shalat Umar bin Abdul Aziz sangat mirip dengan shalat Rasulullah SAW.
Karier awalnya dimulai ketika Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik mengangkatnya menjadi Gubernur Madinah pada tahun 86 H. Namun, kebijakannya yang tidak selalu sejalan dengan pusat membuatnya diberhentikan pada tahun 93 H. Ia kemudian menjadi penasihat dekat Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik. Ketika Sulaiman wafat pada tahun 99 H, Umar bin Abdul Aziz, yang saat itu berusia 37 tahun, diangkat sebagai khalifah berdasarkan surat wasiat Sulaiman. Pengangkatannya diterima dengan keengganan; diriwayatkan ia berkata, “Demi Allah, sesungguhnya saya tidak pernah memohon perkara ini kepada Allah satu kali pun.”
Transformasi Kepemimpinan: Kebijakan Revolusioner Umar bin Abdul Aziz
Meskipun memerintah kurang dari tiga tahun (99-101 H / 717-719 M), Umar bin Abdul Aziz melakukan reformasi menyeluruh yang menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat.
- Reformasi Spiritual dan Keagamaan: Prioritas utamanya adalah menghidupkan kembali ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang mulai terabaikan oleh kemewahan dunia. Ia memerintahkan umatnya untuk mendirikan shalat berjamaah dan menjadikan masjid sebagai pusat pembelajaran hukum Allah. Kerjasama erat dijalin dengan ulama-ulama besar untuk membahas masalah agama. Salah satu pencapaian monumentalnya adalah perintah untuk mengumpulkan dan membukukan hadis-hadis Nabi (kodifikasi hadis), karena kekhawatiran akan hilangnya hadis seiring wafatnya para penghafal. Imam Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri adalah salah satu ulama yang ditugaskan dalam proyek vital ini. Ia juga menghentikan praktik mencela Ali bin Abi Thalib dan keluarganya dalam khutbah Jumat, menggantinya dengan pembacaan ayat Al-Qur’an (An-Nahl: 90) yang menyeru kepada keadilan dan kebajikan.
- Keadilan Sosial dan Politik: Umar bin Abdul Aziz menerapkan politik yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan tanpa pandang bulu. Ia menghapus diskriminasi antara Muslim Arab dan non-Arab (Mawali), memberikan mereka hak dan kewajiban yang sama. Pejabat yang korup, tidak kompeten, atau berlaku zalim terhadap rakyat dipecat tanpa ragu, meskipun berasal dari kalangan Bani Umayyah sendiri. Untuk memastikan jalannya pemerintahan yang bersih, ia membentuk tim monitor yang dikirim ke berbagai wilayah untuk mengawasi kinerja para gubernur. Prinsip musyawarah atau konsultasi dengan para ulama dan tokoh masyarakat menjadi landasan dalam pengambilan keputusan. Ia juga menghapuskan pengawal pribadi dan fasilitas mewah kekhalifahan, memilih hidup sederhana dan mudah diakses oleh rakyatnya.
- Kebijakan Ekonomi Pro-Rakyat: Di bidang ekonomi, fokusnya adalah pada kesejahteraan rakyat. Beban pajak dikurangi, dan sistem kerja paksa dihapus. Ia memerintahkan perbaikan tanah pertanian, sistem irigasi, dan pembangunan jalan. Harta kekayaan yang diperoleh secara tidak sah oleh keluarga khalifah sebelumnya dan pejabat lainnya diambil kembali dan dimasukkan ke Baitul Mal. Ia sendiri menyerahkan seluruh kekayaan pribadinya dan keluarganya yang dianggap tidak wajar ke Baitul Mal. Fakir miskin dan anak yatim disantuni, bahkan gaji buruh dinaikkan hingga setara dengan pegawai kerajaan. Kebijakannya yang adil dan merata berhasil mengangkat taraf hidup masyarakat hingga diriwayatkan bahwa pada masanya, sulit menemukan orang yang berhak menerima zakat karena semua telah merasa cukup.
- Pendidikan dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan: Umar bin Abdul Aziz memberikan perhatian besar pada pendidikan, yang diwujudkan dalam tiga pola: pendidikan keluarga, pendidikan formal, dan pendidikan masyarakat. Ia sendiri memberikan contoh dalam mendidik keluarganya dengan nilai-nilai Al-Qur’an dan akhlak mulia. Dalam pendidikan formal, ia mendirikan sekolah-sekolah (madrasah) dan memberikan ruang bagi para ulama untuk membuka majelis ilmu. Gerakan penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan, terutama kedokteran, dari bahasa Yunani, Latin, dan Siryani ke dalam bahasa Arab digalakkan. Sekolah kedokteran di Iskandariyah dipindahkan ke Antiokia dan Harran. Ia juga mengirimkan para dai dan ahli hukum Islam ke berbagai wilayah, termasuk Afrika Utara, India, dan Turki, untuk menyebarkan ajaran Islam dan mendidik masyarakat.
Prinsip Kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz: Teladan Sepanjang Zaman
Keberhasilan Umar bin Abdul Aziz tidak lepas dari prinsip-prinsip kepemimpinan yang dipegangnya teguh, yang berakar pada ajaran Islam dan mencerminkan good governance sejati.
- Karakter Pribadi Unggul: Landasan utama kepemimpinannya adalah ketakwaan dan rasa takut yang mendalam kepada Allah SWT. Sifat zuhud (kesederhanaan) terlihat jelas dalam gaya hidupnya yang menolak kemewahan. Ia dikenal rendah hati, tidak suka dengan gelar-gelar kebesaran, dan lebih senang dipanggil Umar saja. Sifat wara’ (kehati-hatian terhadap perkara haram dan syubhat), lemah lembut, pemaaf, sabar, adil, dan tegas dalam kebenaran menjadi pilar karakternya.
- Pendekatan Administratif yang Efektif: Dalam menjalankan roda pemerintahan, Umar mengangkat gubernur dan pejabat yang terpercaya, adil, dan kompeten. Perencanaan yang matang dengan tujuan yang jelas menjadi ciri khasnya sebelum mengambil keputusan. Ia melakukan pengawasan ketat terhadap jalannya pemerintahan, dari persoalan kecil hingga besar. Jalur komunikasi antara pemimpin dan masyarakat dibuka lebar; ia bahkan menjanjikan hadiah bagi siapa saja yang melaporkan kezaliman atau memberikan masukan konstruktif. Gaji pegawai dinaikkan untuk mencegah korupsi dan memastikan mereka fokus melayani masyarakat. Penerimaan gratifikasi dan hadiah oleh pejabat dilarang keras.
Warisan dan Relevansi Umar bin Abdul Aziz
Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, dampak kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz begitu mendalam hingga ia sering dijuluki sebagai “Khalifah Rasyidin Kelima” oleh sebagian sejarawan. Ia berhasil menghidupkan kembali semangat keadilan, kesederhanaan, dan kepedulian terhadap rakyat yang menjadi ciri khas era Khulafaur Rasyidin. Tantangan seperti pemberontakan dari kelompok Khawarij dan Syiah dihadapinya dengan metode dialog dan diskusi, yang didukung oleh para ulama, sehingga stabilitas dapat terjaga.
Warisan Umar bin Abdul Aziz adalah bukti nyata bahwa kepemimpinan yang berlandaskan nilai-nilai luhur agama dapat membawa kemaslahatan dan kemajuan. Figurnya terus menjadi inspirasi dan tolok ukur bagi para pemimpin Muslim di era modern yang mendambakan tata kelola pemerintahan yang bersih, adil, dan menyejahterakan. Kisahnya mengingatkan bahwa kekuasaan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan, dan tujuan utamanya adalah melayani umat dan menegakkan kebenaran.
Bibliografi
Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Biografi Umar bin Abdul Aziz. Terj. Chep M. Faqih FR. Jakarta: Beirut, 2014.
Audina, Nana dan Raihan. “Prinsip Good Governance Pada Kepemimpinan Umar Bin Abdul Azis.” Jurnal Al-Idarah, Vol.2, No.2, Juli-Desember 2018.
Fazriyati, Maswanda dan Muhammad Toriq Zacky Habibi. “Kebijakan Manajemen Pendidikan Pada Masa Dinasti Umayyah: Khalifah Umar Bin Abdul Aziz.” JURNAL AL-TADBIR: Vol. IV, No. 1 Juni 2024.
Mubarak, Muhammad Hilal, Lomba Sultan, dan Fatmawati. “Konsep Pemikiran dan Penegakan Hukum Khalifah Umar Bin Abdul Azis.” Madani: Jurnal Ilmiah Multidisiplin, Volume 1, Nomor 12, 2024.
Muliadi, Nurfadillah, dan Bahaking Rama. “Khalifah Umar Bin Abdul Aziz Dan Kebijakan Politiknya.” ULIL ALBAB: Jurnal Ilmiah Multidisiplin, Vol.4, No.2, Januari 2025.
Baca juga: Invasi Yang Gagal: Kekalahan Viking di Sevilla Pada Tahun 844 M